Ngantor Lagi

8:50 AM

Ini lanjutan kisah perburuan saya akan pekerjaan di Australia, menyambung yang ini. Tulisan ini juga  sekalian merayakan terlewatinya masa kualifikasi dalam pekerjaan.

Banyak yang bilang, di Australia, asal mau kerja apa saja, pasti bisa hidup. Namun, semua orang di sini juga berkata bahwa mendapatkan pekerjaan pertama di Australia adalah yang tersulit. Kesulitan itu menghimpit saya cukup lama.

Setelah bekerja sangat sebentar sebagai pramusaji di sebuah restoran, saya menguatkan hati untuk mencari pekerjaan di bidang sejenis saja. Sepertinya terlalu sulit masuk ke dalam lingkungan korporasi jika kita telah sepuluh tahun tak hidup di dalamnya.

Randomness
Ya, saat berhenti bekerja sebagai front end web developer yang saya tekuni selama empat tahun, pekerjaan yang saya lanjuti sesudahnya terlalu acak dan tak jelas ke mana arahnya. Seacak ini:

menjadi penulis selama hampir dua tahun di sebuah NGO*,
        kemudian menjadi ibu rumah tangga sembari menjadi staf administrasi paruh waktu di sebuah  
        organisasi parenting selama dua tahun,
lalu berhenti bergaji tetap sejak saat itu, menjadi freelancer.
     Tak lupa membuka toko sabun online yang terbuat dari bahan alami.
            Terakhir menjadi: GURU. #Random sekali, kan? Super sekali.

Freelancer saya lakukan selama kurun waktu enam tahun, sesekali menyambar pekerjaan serabutan seperti mendesain web, mendesain brosur, menerjemahkan buku bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, apa saja, apa pun yang penting ada kesibukan dan mendapat tambahan penghasilan.

Yang terakhir mungkin yang paling epik dan melenceng dari jalur, yaitu menjadi guru di sebuah sekolah dasar, mengajar Matematika dan Science selama setahun. Namun, dengarkan pembelaan ini, itu semua tidak pernah saya lakukan atas motivasi utama uang, hanya sekadar mengikuti panggilan hati untuk mengaktualisasikan diri. Saya hanya tetap ingin berkarya.

Dampak negatifnya dengan sejarah karier seperti ini, kesan yang didapat bisa kurang baik, karena lebih menyerupai jalan bercabang banyak. Saya terkesan sebagai seseorang yang tak berketetapan hati dan gampang bosan. Keahlian apa yang saya bisa jual? Bagaimana saya bisa mengemas dan memoles kisah kerja ini ke dalam sebuah resume yang profesional? Sepertinya akan sulit.

Pengalaman mengajar satu tahun adalah yang paling gres. Saya masih mengenang betapa besar sukacita yang saya dapat dari mengajar. Namun saya tak punya kompetensinya. Apalagi di Australia, tak bakal pengalaman itu akan terpakai. Saya harus memulai dari sangat bawah, dan harus mendapat pendidikan sebagai pengajar. Ini butuh waktu dan butuh UANG, padahal uang adalah apa yang mendorong saya untuk kembali bekerja dan menjadi salah satu kontributor finansial di keluarga.

Blue collar saja tapi...
Saya mantapkan hati. Sudahlah. Kerja blue collar saja. Gajinya toh besar juga. Filler di supermarket, yang kerjanya mengisi rak-rak kosong? Pelayan restoran lagi? Cleaner alias staf kebersihan, gajinya buesar lho. Atau, housekeeping? Kerja housekeeping ini sempat saya pandang remeh, "Gampang. Itu kan kerja sehari-hari di rumah." Eh, tidak begitu ternyata, seorang teman bercerita tentang tingginya tuntutan pekerja di sektor ini. Tantangan terberat adalah menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dan beres-beres ini dengan maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya, karena biasanya dibayar berdasarkan jumlah kamar yang dibersihkan, itu pun harus sesuai standar, jika tidak, maka slogan Pertamina akan kamu dengar: "Mulai dari nol, ya!". Ulang lagi dari awal.

Gumtree.com.au adalah website yang rajin saya tongkrongi untuk melihat lowongan yang buka. Bahkan pekerjaan waitress di restoran Malaysia itu pun saya dapat dari Gumtree. Gumtree ini sebenarnya adalah sebuah wadah berjualan untuk komunitas lokal, biasanya barang bekas. Lalu penjual jasa pun ikut beriklan, dan akhirnya bursa pekerjaan (pencari kerja mapun perusahaan) pun ikut dibuka. Fitur pencariaan Gumtree memungkinkan kita untuk mencari berdasarkan lokasi, misal 0km, 5km, dst dari lokasi kediaman kita. Beberapa employer sektor blue collar saya hubungi, tak semua memberi respons.

Pencarian itu akhirnya membawa saya ke sebuah iklan lowongan yang mencari Enewsletter/Web Traffic Admin, lokasinya dekat sekali.  Saya tergugah. Padahal saya baru saja mengontak sebuah hotel yang sedang mencari tenaga housekeeping yang bisa bekerja selama jam sekolah. Saya tutup browser Safari yang saya pakai. Tapi, entah kenapa rasanya iklan itu memanggil-manggil. Saya buka lagi, baca lagi. Sampai tak terbendung lagi rasa ingin mencoba. Padahal saya tak tahu pekerjaan jenis apa itu.

Tapi, tunggu. Saya tak ingin melamar via Gumtree. Saya sudah punya template resume yang cukup bagus di seek.com.au, siapa tahu mereka juga pasang iklan di situ? Seek.com.au adalah salah satu website tempat nongkrong orang-orang Aussie yang sedang butuh pekerjaan. Eh, benar ada. Wah, kalau begitu lebih baik saya lamar lewat Seek saja.  Saya iseng meng-google job title itu, karena takut salah paham, pekerjaan ini belum pernah saya lakukan sebelumnya karena memang tak ada pekerjaan seperti ini belasan tahun lalu.

Eh, kok lowongannya muncul di LinkedIn? Sedikit berbeda dalam redaksinya, lebih formal di LinkedIn, sehingga saya putuskan untuk melamarnya lewat LinkedIn karena resume saya di LinkedIn paling mengilap, juga pertemanan saya yang terlihat jelas dengan rekan-rekan kerja khususnya NGO tempat saya bekerja dulu -- yang punya nama baik di Australia -- pasti akan mendongkrak reputasi saya.

Dipanggil wawancara
Ternyata tak salah intuisi ini. Saya pun dipanggil untuk wawancara tak lama kemudian. Ini bukan wawancara kantoran pertama saya, sudah tiga kali sebelumnya. Naik bus saya ke sana, bertemu orang yang akan menjadi manager saya kemudian, Dean. Suasana sangat casual, seperti bicara dengan teman. Alih-alih menanyai, dia malah cerita tentang pekerjaan ini panjang x lebar x tinggi, alias dibahas dengan mendalam. Sedikit pun saya tak merasa tak percaya diri hari itu.

"Kami punya 12 merk majalah yang sangat jelas segmentasinya. Semuanya gratis. Yang bayar adalah pemasang iklan. Selain beriklan di majalah cetak, bisa juga beriklan secara digital yaitu website dan newsletter. Kami mencari orang yang akan mengurus iklan-iklan digital ini, mengirim belasan newsletter setiap minggunya, juga sekitar sepuluh website. Berhubungan dengan para sales, memastikan iklan-iklan yang telah dipesan benar dan terisi. Tidak semua sales orangnya teratur, jadi tugas ini mengharuskan kamu bekerja sama dengan mereka. Berpengalaman menggunakan email marketing tools, harus mengerti HTML walau tidak harus mahir, bisa Photoshop karena kadang harus membuatkan iklan untuk pemasang iklan yang tidak punya desainer."

Kira-kira begitu isi pembicaran Dean. Saya? Terpukau. Kenapa? Karena walau pekerjaan ini tidak eksis ketika masih aktif bekerja, besar hati saya, semua yang dia sebut itu saya pernah kerjakan dan bukan lagi sebagai pemula. Lalu Dean memanggil bosnya, Geoff. Saya merasa nyaman dengan mereka berdua, Geoff khususnya terlihat seperti orang yang sangat menyenangkan. Singkat cerita, mereka memberikan saya kesempatan mencicipi pekerjaan ini satu hari. Setelah itu saya dapat putuskan untuk mengambilnya atau tidak. Menarik ya ada opsi seperti ini? Satu hari saya mencoba melihat dan mengamati seperti apa pekerjaan itu agar dapat gambaran, sore harinya saya mendapat SMS dari Geoff, saya ditawari untuk bekerja di sana. Situasi saya sebagai ibu yang punya anak usia sekolah pun mereka akomodasi, saya bisa bekerja selama jam sekolah saja. Ini kok bisa menjawab semua kebutuhan saya, ya?

Ibu-ibu kantoran

My desk
Baiklah. Saya pun mulai bekerja sebagai tenaga part time, membukukan 27.5 jam per minggu. Gaji dibayarkan ke rekening setiap dua minggu sekali, hari Kamis. Benar, tidak salah dengar, ini Aussie sekali. Pay day is on Thursdays, every fortnight. Itu sebabnya, toko-toko yang biasa tutup jam 5 sore, setiap Kamis akan buka sampai malam (yang disebut malam itu jam 9) untuk mengakomodasi kaum pekerja yang baru gajian dan ingin menikmati gajinya. :)


Sick Leave, Annual Leave
Sedikit catatan tentang cuti berbayar. Selain cuti 20 hari untuk yang bekerja full time (38 jam), karyawan di Australia juga berhak mendapat cuti sakit. Cuti sakit yang disebut sickie ini jatahnya 10 hari, pro rata untuk yang bukan full time seperti saya. Sickie bisa juga diambil ketika si karyawan harus merawat anggota keluarga yang sakit, tak harus satu hari, bisa hitungan jam. Fair enough. Waktu Kimi sakit misalnya, saya bawa dia ke kantor untuk kerja beberapa jam dan lalu mengambil sickie 2-3 jam, supaya tidak habis jatah saya yang hanya sedikit itu. :)

Wine & Alcohol
Jika kamu tidak minum anggur, jangan kaget melihat budaya minum anggur di Australia. Di beberapa perusahaan tertentu, perusahaan tempat saya bekerja pun, ada yang namanya tradisi minum bersama setiap Jumat sore, anggurnya disediakan kantor. Saya belum pernah ikut yang Jumat sore, karena sudah pulang duluan. Tapi saya pernah ikut sekali ketika ada acara Tennis Lunch, beberapa hari lalu. Beberapa botol champagne dan bir disediakan, bebas minum. Jadi, ini agak menepis anggapan saya tentang etos kerja yang benar selama ini: tidak ada alkohol saat jam kerja. Ternyata tidak selalu begitu, ini bahkan difasilitasi oleh kantor, deh. Nah, ada perbedaan budaya lagi, kan?

Percobaan telah berlalu
Masa percobaan, probation di Indonesia, qualifying time di Australia, diberikan selama enam bulan. Sejak awal Mei kemarin, masa percobaan ini sudah terlewati. Artinya, saya kini sudah permanen. Betahkah? Sejauh ini tak ada keluhan, selain masalah bahasa dan budaya yang membuat saya agak sulit memosisikan diri di tengah bule-bule Aussie ini. Mereka baik-baik, hanya perbedaan kami cukup besar, butuh waktu dan usaha untuk mengatasi jurang perbedaan ini. Demikianlah, saya akan terus berusaha, terus mencoba. Jia you, Devi!

*NGO: Non-Government Organisation alias LSM

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images