Berpisah Kita, Wahroonga?

10:18 PM

Beberapa hari terakhir ini hati saya haru biru.
Selain 3 Juli lalu kami baru saja melewati dua tahun pertama kami di negeri bawah bawah (Betul! Sudah dua tahun!), juga karena tampaknya kami harus meninggalkan Wahroonga.

Stasiun kereta itu
Jika melihat lagi ke belakang, seperti di dalam posting saya yang ini: Dari Timur ke Utara, saya teringat betapa tak pastinya hidup kami dua tahun lalu, saat tak ada jaminan mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Aplikasi sewa rumah atau apartemen yang kami ajukan berkali-kali ditolak karena tentu saja sebagai migran baru tanpa pekerjaan, pemilik rumah akan berpikir seribu kali sebelum menyetujui aplikasi kami. Hingga disetujuinya satu aplikasi terakhir ini, yang kami ajukan tanpa pernah tahu seperti apa Wahroonga itu, di manakah tepatnya, bagaimana lingkungannya, dan lain-lain. Kami pun terdampar di Wahroonga.

Apartemen pertama kami
Wahroonga, Wahroonga, oh Wahroonga.
Dua tahun tidak sebentar.

Dari tempat nun jauh di tenggara Sydney bernama Malabar (baca cerita yang ini), kami berpindah ke tempat maha asing bernama Wahroonga. Kejutan manis kami dapat saat tahu Wahroonga dalam bahasa Aborigin berarti "Rumah Kami/Kita".

Sudah banyak kenangan manis kita buat, hei? Kamu dan aku, Wahroonga.

Saat aku berjalan sambil meringis menahan sakit di dada yang sesak oleh degupan jantung yang bekerja ekstra keras karena aku harus berjalan sangat cepat ke sekolah agar bisa sampai tepat waktu dan tidak ketinggalan bus yang hanya lewat satu jam sekali. Atau ketika aku dan Kimi berjalan di tengah dinginnya musim dingin dan tiba-tiba hujan turun sangat deras di tengah jalan lalu batu-batu es pun berjatuhan dari langit menimpa kepala kami padahal tujuan kami masih lumayan jauh? Kami kedinginan, menggigil. Setelah sampai tujuan, kami masih harus berjalan kembali ke rumah dengan rute yang sama. Kimi demam malamnya, Wahroonga. Dan aku merasa berdosa.

Aku pernah menangis sambil berjalan menempuh jarak 1,7 km itu, yang sekarang bagiku keciiilll, Wahroonga. Kamu pasti tahu. Konyol, ya. Betapa menyedihkan ya aku, hari-hari itu.

Kamu ingat saat aku melepas anak pertamaku ke SMP di hari pertamanya? Aku temani dia menunggu bus dan bus itu tidak melihatnya yang melambai malu? Padahal bus itu pun hanya lewat satu jam sekali? Kami tertawa berdua, lalu berjalan kembali ke rumah. Buyar sudah mimpi melihat anak praremaja saya menjadi pribadi yang lebih mandiri hari itu, akhirnya dia diantar Papanya.

Si sulung sudah besar
Juga saat aku merintis usaha berjualan masakan agar bisa ikut berperan aktif dalam ekonomi rumah tangga kami yang tiris? Kamu tahu perjuanganku, kan? Aku yang tidak pernah berpikir untuk berjualan makanan. Aku yang tidak pernah percaya diri ada yang mau membeli masakanku. Kamu saksinya, Wahroonga, betapa paradigmaku pun berubah.

Entah sudah berapa kilo ikan tenggiri yang kuubah menjadi empek-empek, entah sudah berapa kotak mie Bangka yang kujual, aku tak punya catatan rinci. Yang kuingat adalah perkakas kotor yang menumpuk dan kukerjakan dengan gembira walau lelah sepulang aku dari mengantar makanan ke pembeli. Tentu saja, aku sudah (agak) lebih kaya dari sebelumnya!




Ketika si bungsu pun akhirnya mulai bersekolah, aku jadi si Mama yang siangnya menganggur. Aku banyak menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna, walau tetap berusaha berjualan makanan dan jasa desain lepasan. Hidup itu tidak mudah, kusadari betul ketika aku bersamamu, Wahroonga.

Aku juga pernah digigit sepi yang ngeri. Kutuliskan di catatanku Tentang Seratus.



Seminggu menjadi pramusaji di sebuah restoran di Macquarie Park, mencari pekerjaan apa pun tanpa pilah-pilih lagi, proses hidup luar biasa bagiku di usia yang sudah cukup matang ini, kujalani bersamamu.   Kamu tahu betapa tertekan dan frustrasinya aku saat lamaranku selalu tak berbalas atau ditolak oleh supermarket, restoran, bahkan hotel-hotel melati? Berapa jam kulewatkan di Gumtree demi mencari lowongan yang menarik, terasa bagai pungguk merindukan bulan.

Sampai akhirnya aku dipekerjakan oleh sebuah perusahaan media yang beralamatkan Wahroonga, sungguh manis jika kupikir. Sepertinya salah satu faktor yang membuat mereka merekrutku adalah karena alamat rumahku. Mereka butuh orang yang loyal untuk pekerjaan yang repetitif dan cenderung menjemukan ini. Orang ini tidak akan ke mana-mana, rumahnya di dekat sini, anak-anaknya bersekolah di daerah sini. Pekerjaan yang kudapatkan ini titelnya Digital Media Executive. Tugasku menyusun e-newsletter, memasang iklan digital di web dan email, terkadang mendesain iklan digital untuk perusahaan yang tak punya in-house designer. Tahukah kamu, Wahroonga, 10 tahun yang lalu saat terakhir aku masih tercatat sebagai karyawan di Indonesia, pekerjaan ini belum ada wujudnya. Tahukah kamu betapa aku teramat bersyukur karena pengalaman kerjaku lebih dari sepuluh tahun lalu, yang kupikir sudah kedaluarsa, bisa kubawa ke masa depan? Tak pernah kubayangkan. Aku pun memutuskan berhenti menjadi pungguk, mengapa hanya merindu bulan tanpa berbuat apa-apa, lebih baik menjadi Neil Armstrong, dengan pasti terbang menuju bulan dan menginjaknya.

welcome letter
Kamu pasti masih ingat, saat pertama kali kami mendapat kunjungan dari Indonesia. Papa Mama, adikku bersama suami dan anak mereka datang menginap di rumah kami di Wahroonga. Apartemen dua kamar kami, mendadak ramai oleh sepuluh orang yang memenuhinya. Haha, seru, ya? Tak akan kulupa.

Aku masih tak tahu ke mana Tuhan akan terus menuntun kami, karena bakal tempat tinggal baru ini pun kami dapat dengan cara yang tak pernah kami sangka. Terjadi lewat 'kebetulan' ketika kami berpapasan di tempat parkir gereja dengan seorang teman yang memberikan informasi tentang teman lain yang sedang mencari penyewa rumahnya, karena mereka akan kembali ke Indonesia untuk seterusnya. Teman kami ini mau pulang sementara kami baru datang. Terlambat lima menit saja, informasi ini pasti tak akan sampai ke telinga kami. Singkat cerita, bulan depan kami akan menempati rumah teman ini. Lokasinya lebih dekat ke pusat kota, menjauhi Wahroonga.

Padahal, aplikasi sewa untuk sebuah rumah cantik di Westleigh, tak jauh dari Wahroonga, sudah diterima tanpa ada masalah. Sempat saya terharu karena, oh, dua tahun lalu, kami ini hanya butiran debu di mata para tuan tanah yang menolak aplikasi kami. Sekarang juga masih butiran debu, sih, tapi sudah mendapat bantuan lampu sorot, sehingga lebih mudah ditemukan.

Wahroonga, Wahroonga, Wahroonga...
Kita akan berpisah sebentar lagi. Tapi aku tidak pindah kerja, kok, masih di Wahroonga. Aku berjanji, tiap hari kerja saat istirahat makan siang, akan tetap kulewatkan waktu berdua denganmu, menyusuri Lembah Rubah-mu, menikmati indahnya dirimu, sambil berdoa agar bolehlah terkikis sedikit lemak pinggangku.

Kuabadikan kemolekanmu di Instagram-ku. Kamu sudah lihat? Kupilihkan satu foto untukmu. Aku suka pohon semakmu, aku suka kalkunmu yang lucu, aku suka kamu!

A post shared by Devi Sutarsi (@deardevi) on


Kamu akan selalu istimewa di hatiku. Pasti.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images