Tentang Seratus

10:18 PM

Oktober tanggal 11 adalah hari penting kami di negara benua ini. Tidak mau kalah dengan presiden, kami juga punya pengalaman 100 hari. :)

Mudahkah 100 hari pertama itu? Campur aduk.
Saya memilih untuk menunda menuliskan ceritanya, karena jeda akan membuat saya berkisah dengan lebih tenang dan tidak emosional. Terlebih, saya harus tunggu air matanya habis dulu.

Well, saya tahu sekarang bagaimana rasanya tanaman yang dicabut hingga ke akarnya, lalu dipindahkan ke media tanam baru. Beberapa tanaman bertahan bahkan bertambah indah; beberapa tidak, mati.

Ketika meninggalkan Indonesia, kami tidak dalam keadaan "harus pindah atau mati". Kepindahan kami adalah sebuah pilihan, yang bisa tidak dipilih. Meninggalkan Indonesia berarti meninggalkan semua kebiasaan yang telah terbangun, semua kenyamanan yang telah telanjur enak dinikmati, semua orang yang telah memberikan pertemanan, semua, dan semuanya.

Satu bulan pertama, walau sulit, kami masih punya bekal banyak bernama adrenalin. Saya berdebar-debar namun bersemangat, karena tahu ini adalah petualangan. Tiap hari ada hal baru. Kami tahu bersenang-senang walaupun harus berhemat. Kami menyesap sebanyak-banyaknya dari anugerah yang kami tahu Tuhan sediakan untuk kami.

Satu bulan berikutnya, kami mulai menetap. Rumah baru, lingkungan baru, masih terasa sebagai petualangan. Stok adrenalin masih aman. Mengantar anak-anak ke sekolah dengan berjalan kaki ke stasiun, naik kereta ke sekolah, lalu pulang ke rumah, dan menjemput mereka lagi sore harinya dengan berjalan kaki, tidak terasa sebagai beban.

Hingga....
Perjalanan 1,5 km ke sekolah mulai terasa berat. Once, I left home late on a chilly winter afternoon. I missed the train, and I gotta wait for another 15 mins. I walked as if I were an Olympic record breaker, so fast that I was out of breath. Dragging my 4-yo who moved at a snail's pace, I burst into tears and whined, "Why is it so hard, God?" Adrenalin sudah habis.

Ya, liburan telah usai. Inilah hidup. Yang sesungguhnya.

Saya lengah. Tanda itu jelas padahal. Seperti, saya tidak antusias lagi melihat jalan-jalan yang saya lewati tiap kali. Gedung-gedung, taman-taman, semua mulai kehilangan daya tariknya. Semuanya menjadi biasa, dan familiar. Itu tanda. Tanda bahwa saya telah melewati masa-masa awal adaptasi dan mulai transisi menjadi warga lokal, saya telah bermigrasi, saya telah berpindah, dan kini sudah mulai menetap. Akar saya telah ditancapkan, dan saya harus bertahan sebaik-baiknya, sepandai-pandainya memanfaatkan lingkungan baru untuk memberikan penghidupan yang baru dan bernas.

Di sini saya tak boleh malas. Saya harus selalu siap untuk keempat orang kesayangan, dengan wajan dan sutil terutama. Saya pun mendadak rindu rumah makan yang bertebaran di Gading Serpong, yang hanya dalam satu panggilan telepon, tergopoh-gopoh datang mengantar masakan yang lezat. Bumbu Pekalongan, Bakmi Buncit, Bakso Wang, Sate Pak Aris. Di sini? Saya tak berani merisikokan alokasi dana makan kami, mate. Tidak. Saya tidak berani.



Lalu, kesepian mulai menggigit. Rasanya dingin dan ngeri. Seketika saya kehilangan begitu banyak teman. Saya kehilangan wajah-wajah familiar, baik yang bersahabat maupun tidak. Saya kehilangan senyum ramah satpam yang menyambut di pintu masuk cluster perumahan, atau sapaan murid-murid dan rekan-rekan guru di sekolah tempat saya mengajar, teman-teman komsel, bahkan tampang judes tukang pisang di Sinpasa. Saya merindukan mereka semua. Saya rindu bercakap-cakap, saya rindu berdiskusi, saya rindu persahabatan dari teman-teman saya.

Dengan pertemanan ala Indonesia yang diwarnai kekepoan level 10, pertemanan di tempat baru ini memaksa saya mendefinisikan ulang tentang hubungan. Ruang privasi maha luas di sini, tak ada yang akan melangkah ke dalamnya tanpa diundang. Saya bahkan sampai berpikir, apakah orang Indonesia saja yang punya banyak waktu untuk mengurusi hidup orang lain? Hei, saya tidak sedang mengejek, saya justru rindu 'diurusi' oleh teman-teman saya yang begitu ama peduli dengan hidup saya. Rasa mengasihani diri sempat menghinggapi, membuat saya merasa: I am nobody's child. I was someone, now I am no one. Tidak ada yang kenal saya. Tidak ada yang tahu saya siapa. I am on my own.

Saat menuliskan ini, saya sudah cukup sukses melalui sebagian besar kegalauan itu. Jika belum, pasti postingan ini akan terlalu cheesy untuk dibaca :) Cengeng.

Tiga bulan ini, tak hanya mendefinisi ulang tentang pertemanan, saya juga mendefinisi ulang pemahaman saya tentang diri sendiri. Siapa Devi. Apa yang akan Devi lakukan setelah ini. Dua hal itu sudah cukup menjadi tugas yang harus saya kerjakan dengan hati-hati dan teliti.

Salah satu jurnal yang batal saya teruskan penulisannya karena saya tidak mau memberi pupuk kepada kecengengan saya:
23/9/2015
Woke up today with such a feeling. There the loneliness hit me. Leaving a trace of icy, cold silence that suddenly struck me right at the heart. 
I have never been this lonely before.


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images