Kisah si Granny

9:12 PM

Si coklat abu-abu, troli belanja saya ini dibeli di 'kampung' Vietnam di Bankstown, sebuah suburb yang terletak di barat daya kota Sydney.


Granny
Orang Australia menyebutnya granny trolley, troli nenek. Bentuknya menyerupai tas besar yang didudukkan di atas dua roda yang telah dilengkapi dengan pegangan untuk mendorong dan kaki penyangga agar dapat diistirahatkan. Ikhwal dia disebut granny trolley, gampang ditebak. Pasti karena penggunanya kebanyakan golongan sepuh, alias kakek-nenek. Betul sekali. 

Setelah dibeli, Granny sempat mendekam cukup lama di dalam ruang cuci (laundry). Saya taruh dia di situ, karena belum merasa perlu menggunakannya. Tangan saya masih kuat menjinjing belanjaan, walau kadang rasanya capek juga. Ya, jarak 850 meter dari stasiun ke tempat tinggal kami itu terasa sangat jauh ketika harus membawa barang belanjaan. Gara-gara itu, saya kadang urung belanja karena sadar tidak akan sanggup menentengnya seorang diri. Positifnya, tanpa Granny saya bisa belanja dengan lebih sadar.

Nah, beberapa waktu ini, Granny membuat debutnya. Pertama kali dalam hidupnya dan saya, kami bepergian bersama-sama ke stasiun-stasiun, untuk bertemu dengan orang-orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Granny menjadi sahabat terpercaya dalam minggu terakhir ini, bagaikan tim sukses, membantu saya melakukan transaksi dengan orang-orang yang saya kenal hanya lewat forum Facebook. Ha? Transaksi? Transaksi apa? Mencurigakan.

Jadi begini.

Sudah seminggu ini saya berjualan makanan. Makanan yang dihasilkan oleh dapur Australia saya. Awalnya hanya coba-coba pasang iklan mie Bangka buatan saya di sebuah grup orang Indonesia yang tinggal di Sydney. Responsnya cukup baik, namun saya membatasi penjualan cuma di area North Shore. Saya inginnya konsentrasi di North Shore saja, di City sudah banyak yang menjual makanan Indonesia, tidak ingin saya merebut lahan orang. Di North Shore masih sedikit yang menjual makanan Indonesia. Lagipula, perjalanan pulang pergi City setidaknya dua jam. Namun, itu berarti yang beli pun tidak akan sebanyak di City, karena orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di daerah utara tak sebanyak mereka yang di pusat kota.

Jualan pertama, lumayan. Saya mengantar mie ke dua titik, terjauh di Chatswood, sekitar 15 menit dengan kereta.  Jualan kedua, mengantar ke dua titik lagi, ditambah satu titik dekat kantor Pampi (Pampi yang antar). Jualan ketiga adalah hari Jumat lalu. Masih belum terlalu banyak volumenya, namun saya mulai merasa terbangkitkan. I can do something. Gimana sih rasanya bisa menghasilkan uang dari jerih payah sendiri? Bangga, karena bisa ikut berkontribusi terhadap keuangan keluarga. Walau sedikit, namun tetap berarti.

Perjalanan ke City adalah yang terjauh dalam kisah pengantaran makanan ini, sekitar 45 menit. Dimulai dengan pagi yang ricuh, karena Pampi mendadak sakit punggung, akibatnya saya yang harus mengantar Chloe & Kimi ke sekolah, dan harus pergi ke sekolah Joel di lokasi yang berbeda untuk mengantarkan bekal yang lupa dia bawa (sigh), waktu saya untuk mempersiapkan pesanan menjadi sangat terbatas.

Untungnya, semua berjalan dengan lancar hari itu. Pesanan terkirim semua, janji tak meleset, dan saya berkesempatan menikmati hasil jerih payah dengan makan siang sendirian di Market City. Saya tak lagi makan di luar sesering di Indonesia karena sadar keuangan kami tidaklah seleluasa dulu lagi. Jadi, ya, ini semacam perayaan.

Dari ketiga pengalaman saya mengantar makanan ini, perjalanan ke City-lah yang terasa paling membentuk saya. Setahun lalu saya masih menjadi guru yang dikenal oleh semua guru dan murid di sebuah sekolah. Setahun lalu saya masih disapa oleh satpam atau tukang kebun cluster tempat tinggal saya di Serpong, "Pagi, Bu." Kini, saya di tengah-tengah lautan manusia-manusia yang berjalan dengan sangat cepat di area sibuk kota Sydney, menggeret sebuah troli sederhana berisi makanan untuk diantarkan kepada pemesan. Saya adalah yang terlihat tidak pas di situ. Mereka berdasi, berpakaian kerja, atau di sisi ekstrim satu lagi, berpenampilan sangat cuek, melintas tanpa ada jejak keramahan sedikit pun. Tempat ini terasa agak kurang manusiawi. Saya lantas rindu Wahroonga dengan wajah-wajah orang yang punya banyak waktu untuk memandang wajahmu. Saya rindu Indonesia yang walau manusia-manusianya kadang terlalu kepo, tapi terasa ada persahabatan yang ditawarkan di situ.

Namun, hidup itu keras, teman. Di pusat kota inilah saya merasakannya. Saya bukan siapa-siapa. Tak ada yang kenal saya. Saya yang harus berusaha untuk dapat survive. Jika mau berusaha dan kerja keras, peluang itu terbuka untukmu. Jangan terlalu tinggi memandang dirimu. :) My food delivery trip to City was really a humbling yet an eye opening experience.

By the way, salah satu pemesan makanan saya hari itu bekerja di sebuah restoran Malaysia. Agak lucu ya, karyawan restoran Asia kok memesan makanan saya. :) Saya dengan suka rela mengantar ke tempat kerjanya, karena dia harus bekerja sangat panjang hari itu. Restorannya tutup pukul 12 malam setiap Jumat dan Sabtu, akibatnya, satu-satunya kesempatan istirahatnya hanyalah pukul 2 siang hingga 3 siang saja.

Anyway.... 

Apa sih, yang saya jual? Penjualan dan penghasilan terbesar saat ini adalah dari bakmi. Saya iseng-iseng menyertakan bakso udang, dan yang terbaru pempek, agar pengalaman makan bakmi makan komplit. Genre mi yang saya usung adalah mi Bangka.

my Indonesian ramen promotion
Bakso udang dan pempeknya gimana? Ini, lho.



Sepulang dari City, di dalam kereta kembali menuju Wahroonga, saya bersandar kelelahan ke dinding kereta. Saya mencoba tidur, mengejar ketertinggalan istirahat. Hari-hari ini telah saya lewatkan dengan tidur tak lebih dari lima jam, masih harus membungkusi satu persatu pernak-pernik mi, sambal, bawang goreng, garingan, daung bawang, dan sayur sawi. Terkantuk-kantuk menyiangi agar tauge ketika jam di dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari atau mencuci tumpukan peralatan masak yang menggunung di tempat cuci.

Bergadang bersama tauge
Saya sadar apa yang saya lakukan tak ada apa-apanya dibandingkan para pejuang, teman-teman Indonesia di City yang bekerja begitu keras, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.

Granny sits nicely on the train
Hidup di Oz land ini memang keras, kawan. Berusaha, berjuanglah. Semoga Tuhan memberkati kerja kerasmu.

Mari kita pulang, Granny.

You Might Also Like

6 comments

  1. What a story! Kisahmu bikin aku ikut optimis. Kuat banget suasana juangnya :-) Ikut bahagia, Devi. Salam buat Granny.

    ReplyDelete
  2. What a story! Kisahmu bikin aku ikut optimis. Kuat banget suasana juangnya :-) Ikut bahagia, Devi. Salam buat Granny.

    ReplyDelete
  3. I can relate to what you felt when you were in the city and no one seemed to know that you are exist. Merasa sendiri dalam keramaian. I felt the same way when I went to big cities when I studied in Aussie. Lebih enak tinggal di Dili ahh.... ☺

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes, Lin. Aku juga kayaknya ga cocok tinggal di city. Mending di pinggiran begini, menyenangkan.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images