Berpisah Kita, Malabar

5:44 PM

Tak terasa sudah lebih dari satu bulan kami tinggal di Malabar. Dan kami akan meninggalkannya beberapa hari lagi. Tulisan ini adalah untuk mengenangnya. Masa-masa awal yang berat namun manis di sebuah tempat bernama Malabar.

Saya suka tempat ini. Pengalaman tinggal di lingkungan permukiman itu selalu terasa menyenangkan. Apalagi tempat ini cukup eksklusif, terpisah dari keramaian. Belum lagi pemandangan luar biasa yang selalu menyambut kami tiap kali membuka pintu atau jendela yang menghadap ke jalan. Teluk berair biru yang cantik, burung-burung yang melintas dan mengeluarkan suara yang membuatmu tiba-tiba membuncah karena bahagia, ah, bukankah mereka telah memberi warna meriah di harimu yang dingin di negara orang?

Good morning, Malabar!

Rainbow on a quiet dusk sky in Malabar
Malabar, sebuah suburb yang terletak sekitar 12 km ke arah tenggara pusat kota Sydney. Malabar masuk ke dalam wilayah kota administratif Randwick. Dulu, saya mengira suburb itu berarti pinggiran kota dan semacamnya. Namun tidak demikian untuk Australia. Karena, pusat kota Sydney sendiri, atau Sydney CBD, dimasukkan sebagai salah satu suburb juga. :) Jadi, suburb itu sepertinya lebih kepada pembagian wilayah menurut kode pos kayaknya. CMIIW. Kembali ke Malabar, rasanya kebanyakan orang Indonesia pernah dengar kata ini. Saya juga sempat merasa lucu, karena tak jauh dari Karawaci, ada pasar bernama Malabar. Orang Bandung apalagi, pasti sudah akrab dengan nama ini, karena Malabar adalah nama gunung di kabupaten Bandung, juga nama kereta api yang melayani rute Bandung-Malang.

Suburb Malabar sendiri dinamai demikian karena ada sebuah kapal yang menabrak batu, yang memang banyak di teluk Long Bay; bulan April tahun 1931 bernama MV Malabar. MV Malabar melayari rute Melbourne-Singapore, dan mengangkut penumpang dan kargo ke dan dari kota-kota seperti Sydney, dan juga Jakarta! Dari manakah nama Malabar yang disematkan kepadanya? You guessed it. Dari nama gunung di pulau Jawa. Itu juga membuat saya merasa lebih connected dengan negara asal saya tercinta Indonesia.

Artikel di Wikipedia memang berkata nama MV Malabar diambil dari nama tempat di India, saya lebih condong kepada penjelasan buku ini:

From Long Bay to Malabar: A Village by the Sea, Patrick Kennedy
"The steamer received its name from a small town in Java, approximately 20 miles south of Bandung. Interest in the wreck led to public comment and a residents petition to rename the suburb to Malabar after the vessel. "

Buku ini saya temukan di rumah sewaan kami di Malabar ini. Kagum deh, dengan semangat untuk mengabadikan sejarah sebuah tempat oleh warga lokal. Tentu bukan kerja yang mudah, menggali kenangan beratus-ratus tahun lalu.

Malabar dulu bernama Long Bay, atau Brand Bay, karena memang demikian nama pantainya. Daerah pesisir ini adalah permukiman. Di jalan tempat kami tinggal, yang sepertinya termasuk salah satu jalan penting, ada gereja katolik St. Andrew yang juga membuka SD St. Andrew untuk kepentingan pendidikan umatnya. Sekolah yang megah ini terlihat sangat menawan. Saat berpapasan dengan jam bubaran, dan melihat orang tua maupun kakek nenek yang menjemput murid-murid St. Andrew, kenangan saya terbawa kepada masa kecil saya bersekolah di SD St. Agnes di Belinyu. Sekolah saya itu terletak satuk kompleks dengan gereja katolik satu-satunya di Belinyu. Bubar sekolah, berjalan kaki pulang, kadang dijemput kadang tidak. Tiba-tiba, saya merasa ingin menyekolahkan anak-anak di sini. :) 
St. Andrew Catholic School, satu kompleks dengan gereja St. Andrew
Selain St. Andrew, sekolah penting lain di daerah sini adalah Malabar Public School atau SDN Malabar. Letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari St. Andrew. Menurut buku sejarah di atas, butuh waktu beberapa lama baru pemerintah akhirnya mengabulkan permohonan membuka sekolah negeri di sana, karena awalnya dinilai terlalu sedikit jumlah muridnya.

Di depan St. Andrew-lah pusat keramaiannya. Ada supermarket kecil di situ, telur, susu, mentega bisa didapat di sana. Ada laundry, agen penjual rumah, klinik, kafe kecil, ada penjual roti, kantor pos, dan lain-lain.

Jalan tempat kami tinggal bernama Prince Edward Street. Nama yang romantis, serasa di Inggris. Rumah yang menaungi kami selama lebih dari satu bulan pertama di Australia ini terletak di atas tebing, hanya pejalan kaki atau pengendara kendaraan roda dua yang bisa menjangkaunya.
Rumahnya yang nomor dua dari kiri, sebelah rumah merah
Tiap kali pulang belanja, kami bergotong royong membawa barang belanjaan ke atas. Semua anak dikaryakan membawa barang. Tak ada lagi kemewahan bisa parkir dekat pintu rumah, seperti di Serpong. Untuk bolak-balik pun butuh usaha besar, bukan soal malas jalan, tapi dinginnya itu, uh. Tropis sejati, nih.
Perjalanan kembali dari pantai

Perjalanan kembali dari naik bus

Batu karang (?) besar di depan rumah ini jadi favorit anak-anak untuk main
Rumah ini dua tingkat, namun tingkat atas punya akses yang berbeda. Itu sebabnya, rumah atas disewakan oleh pemiliknya Helen via airbnb.com, dan kalau saya lihat di kalender dinding yang sudah ditandainya, tingkat atas itu sudah tersewa sepanjang 2015 bahkan hingga tahun 2016. 

Selama kami tinggal di sini, kami sudah hidup bertetangga atas bawah dengan dua keluarga berbeda. Saat kami datang, sudah ada keluarga dari Canberra yang sedang berobat, dan yang kedua baru masuk awal Agustus, sepasang suami istri dengan satu anak dari Eropa, yang juga migran baru.

Anak-anak akan merindukan Harry, si Golden ramah milik tetangga di ujung jalan.
Harry selalu dengan suka rela memberi diri dielus-elus

Sekarang mari saya cerita tentang pantainya. Sayang sekali kami datang ketika musim dingin, jadi tidak bisa sering-sering ke pantai, walau anak-anak meminta-minta. Dingin kali! Sehangat-hangatnya 20° C, baru saya agak berani membawa mereka menghirup angin laut. Sayang memang.

Pantai Malabar adalah sebuah teluk yang tadinya juga disebut Long Bay. Pantainya tenang sekali, tidak ramai seperti Bondi. Rasanya seperti pantai pribadi. Juga, rasanya menakjubkan bisa memandang laut lepas, sambil membayangkan kapal-kapal yang pernah karam di sini.

Birunya, hijaunya, indah
Quiet beach
Tempat mancing dan parkir perahu
Playground - Cromwell Park
Tempat wisata penduduk lokal ini jadi satu dengan Cromwell Park, sebagai fasilitas yang disediakan oleh Randwick city council, ada tempat bermain yang dilengkapi dengan bubbler -- keran air minum,  alat BBQ gratis, juga ada beberapa monumen yang dipasang untuk mengenang sembilan korban bom Bali yang adalah penduduk lokal Malabar, dan sebagian dari mereka adalah anggota paroki St. Andrew. Saya lihat sembilan tiang bendera dan beberapa plang nama yang dipasangkan dengan batang-batang pohon yang ditanam khusus di situ, juga ada kartu ulang tahun tulisan salah seorang sahabat korban. Sedikit kisahnya bica baca di sini. Terbit haru di hati saya, karena orang-orang ini meninggal di negara saya, akibat ulah orang-orang yang sudah dibutakan oleh ideologinya. Sampai hari ini saya masih tak paham dengan jihad yang mengorbankan nyawa orang lain. Allah sebengis apa yang memerintahkan membunuhi orang-orang yang tak bersalah?

Monumen
Pohon dan kartu ucapan untuk salah satu korban
Dari rumah ini juga, pertama kali Pampi berangkat untuk interview dengan headhunter, akhirnya dipertemukan dengan klien, sampai akhirnya diterima kerja. Besar sekali jasa rumah ini.
Berangkat wawancara pertama kali, 22 Juli 2015
Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada 92 Prince Edward Street, Malabar. Rumah yang telah menjadi naungan selama 40 hari pertama, yang telah menyediakan segala yang kami butuhkan sebagai migran, sebagai pendatang baru. Dapur yang jauh lebih asyik ketimbang dapur saya di Serpong, kamar mandi yang cantik, oven yang top, mixer yang canggih, mesin cuci piring yang telah meringankan beban saya yang tidak suka cuci piring ini. Segala kebutuhan dasar non pangan kami terpenuhi di sini, kami mendapat tempat tinggal yang sangat layak. Juga identitas kami dapat karena punya alamat, surat pertama dari pemerintah Australia kami terima di sini. Saya baru menyadari betapa berharganya rumah ini setelah kami harus pindah dan harus membeli SEMUA keperluan kami. Piring, sendok, garpu, tong sampah, seprei, handuk, selimut, bahkan hal-hal seremeh sabut cuci piring.

Pemandangan dari kamar utama, beach view
Dapur
Kebun depan
Tiap Rabu malam, kami akan menurunkan tong sampah untuk ditaruh di pinggir jalan. Kamis pagi, truk sampah akan mengambil sampah-sampah tersebut sesuai jadwal. Tidak ada orang yang turun untuk menuang, semuanya dikerjakan oleh lengan otomatis. Orang udik dari Serpong ini masih suka takjub, euy. Tong sampah bertutup merah untuk sampah biasa, tutup kuning untuk yang bisa didaur ulang -- tidak boleh ada kantong plastik, tutup hijau -- tidak kelihatan di sini -- adalah untuk sampah kebun, bakal kompos.
pinggiran undakan dijadikan Kimi perosotan
beranda belakang, tempat hebat untuk makan bersama

Bagian belakang samping, tempat menjemur baju

*weeping

Btw, penasaran tidak, kenapa nama Long Bay diganti jadi Malabar? Menurut buku From Long Bay to Malabar, adalah karena warga semakin risih dengan nama Long Bay, dan mereka meminta kepada council agar nama itu diganti. Long Bay adalah juga nama Lembaga Permasyarakatan di Sydney. Jadi, mereka risih kalau ditanya, "Where do you live?" dan mereka menjawab, "Long Bay" lalu itu akan menjadi bahan olok-olok, "Inside or outside?" Hahaha.
Ya, itulah sebabnya.

So, good bye, Malabar. 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images