Sydney, 14 Mei 2017

7:42 PM

Mother's Day kedua di Australia. Saya dibangunkan oleh seorang kurcaci kecil yang menyodorkan tas jinjing kertas. "Happy Mother's Day, Mama!" Lalu saya dikecup olehnya. Disusul oleh kurcaci berikut, yang cantik satu-satunya.




----------------------------------------------------
Ada rencana untuk makan siang di "City". City adalah sebutan kami untuk area Sydney yang lebih ngota, kami kan tinggalnya agak menepi ke arah utara. Hitung-hitung merayakan Mother's Day yang selalu jatuh pas hari Minggu minggu ke-2. 

Rencana itu lalu urung, karena saya entah kena getaran dari mana, mendadak bikin kue. Terbayang-bayang bolu tape, euy. Sayang tape yang cuma 200 gram itu tidak mampu menghidupkan adonan kue saya. Rasa tapenya nyaris tak ada. 
----------------------------------------------------
Pukul 1.30, tergopoh-gopoh kami berangkat ke stasiun Wahroonga. Tujuan kami satu: Sydney Opera House. Untuk ke sana, kami harus ganti kereta di Wynyard, dan berpindah jalur yang ke arah Circular Quay, stasiun terdekat ke tujuan kami ini.

Di Wynyard, saya melihat pemandangan yang menarik hati. Mereka yang berpakaian merah. Baju merah, kaos merah, jas merah, serba merah seperti tiga anak kami, atau kotak-kotak, dan ada sedikit yang berpakaian hitam seperti saya dan suami. Kami saling berpandangan, bertukar senyum, seolah berkonfirmasi akan sesuatu: "Tujuan kita sama."

Tiba di Circular Quay, warna merah dan putih makin merebak. Hai, benarkah kalian setujuan dengan saya? Tentunya sama. Karena kami yang bermerah, putih, hitam, kotak-kotak, dan batik ini mulai mengundang perhatian orang. Saat kami berjalan dari Opera House masuk ke dalam Royal Botanic Gardens, kami makin terlihat berbagi identitas yang sama. Seorang rekan disapa oleh seorang kulit putih, "Apakah kalian ada acara?" Kami merah, kami putih, kami hitam, kami batik, kami kotak-kotak, berjalan menempuh hampir 2km hari itu menuju Mrs Macquarie's Chair. 

Bertemu beberapa wajah yang familiar, jauh lebih banyak yang tidak saya kenal. Baru empat hari lalu ide membuat acara ini digagas di sebuah forum komunitas Indonesia di Sydney. Lalu bergulir dari mulut ke mulut dengan kecepatan tak terbendung. Dari mana mereka semua ini? Si penggagas, Didi Setyawan pun bahkan sudah tidak lagi tinggal di Australia. Jadi siapa yang bisa mengumpukan orang sebanyak ini? Begitu banyak orang. Begitu memenuhi taman cantik itu. Ribuan pun ada sepertinya. Kami berkumpul, kami berdoa, kami bernyanyi. Indonesia Raya, Indonesia Pusaka, kami nyanyikan sepenuh hati sore itu. Entah kapan terakhir kami nyanyikan. 
Dok. pribadi
Saya menatap wajah-wajah yang hadir. Mereka ini ada yang muda sekali, ada yang tua sekali. Wajah mereka rela, ikhlas menyempatkan hari istirahat ini untuk bersama-bersama dengan orang-orang yang tak mereka kenal. Konon jumlah kami dua ribuan.

Saya berjumpa juga dengan anak-anak muda berparas Asia berlogat Australia parah. Entah mereka ini para ABC, Australian Born Child, atau pindah ke sini saat masih kecil. Saya dengar mereka ada membahas tentang tokoh fenomenal yang sedang dipenjara di Indonesia itu. Tidakkah ini menerbitkan sesuatu dalam hatimu?



Sydney Harbour Bridge di kejauhan, Sydney Opera House yang cantik, terasa bagai lukisan sore itu di belakang kami, manusia-manusia yang mengafiliasikan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam hati saya menduga, rasanya tak mungkin semuanya masih berpaspor hijau, tapi cintanya kepada Nusantara tak akan mati. Mereka semua punya cerita, tentang apa yang membawa mereka kemari. Mungkin tak semua punya punya cerita indah, mungkin ada tragedi yang memaksanya harus pergi, saya tak akan pernah tahu. Tapi, ketulusan mereka untuk melakukan hal ini, menggugah hati saya.

Dok. The Rock
"Ngapain sih kita ke sini? Tidak akan mengubah apa-apa!" kata sulung saya, 13 tahun.
"Kata siapa. Kamu tidak akan pernah tahu."
Tetes air yang kecil, setetes demi setetes, berkumpul bersama teman-teman sejawatnya, bersatu padu menjadi lautan. Jangan pernah remehkan riak kecil di lautan.

Beberapa saat kemudian datang mobil kecil berlampu kedap-kedip. Petugas patroli yang biasa disebut "ranger" sudah datang. Ini tanda bagi kami, sudah waktunya membubarkan diri. Tentu kami sudah kelamaan di sini, sudah mengganggu kenyamanan orang lain di taman milik umum ini. Gerbang pun ditutup, tak boleh lagi ada yang boleh masuk. Saya dan keluarga memutuskan untuk beranjak.
------------------------------------------------------
Kami naik bus bernomor 441, bus terakhir yang akan membawa kami melewati gedung tua Queen Victoria Building. Pemandangan teramat langka segera terjadi di dalam bus. 99% orang Indonesia, 100% peserta aksi damai untuk Indonesia. Semacam dibajak busnya.

Bus penuh sesak, semua ribut bicara. Dalam bahasa Indonesia. Hebatnya. Hari ini hari Minggu pula, ketika tarif kendaraan umum termurah, 25 ribu rupiah sepuasnya sepanjang hari. Terima kasih, kota Sydney, sudah ikut berperan dalam kegiatan kami, orang Indonesia di Sydney membubuhkan sebuah catatan kecil perjuangan kami dalam sejarah.

hijacking the bus
------------------------------------------------------ 
Kelaparan kami tiba di stasiun Town Hall. Tak ingin memperkaya jaringan Maccas (McDonald's), kami pun mencari apa saja yang masih buka. Rencana 'dining out' Mother's Day yang elegan pun berganti dengan anak-anak makan sushi gulung, saya makan risotto udang obral seharga $3 (tokonya sudah mau tutup) sambil berdiri. Ah, sungguh tak kalah manis.
----------------------------------------------------
Malam itu sebelum tidur, saya sempatkan membaca forum The Rock. Kejadian sore tadi masih seperti mimpi. Benarkah itu terjadi? Trenyuh hati saya saat membaca ada yang komen, "Yah, udah pada bubar. Baru selesai kerja, nih, buru-buru ke sana. Hiks."
Ingin ikut bergabung menyampaikan solidaritas, namun sayang waktu juga yang membatasi. Selamat ya, Indonesia. Masih buanyaaak yang cinta kamu.


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images