Bangunlah Jiwanya. Bangunlah Badannya.

3:16 PM

9 Mei 2017 di Sydney, dari balik kubikel saya menangis untuknya, seorang pejuang. Kami menyebutnya pejuang cahaya, karena bersama dirinya dibawanya secercah cahaya yang mampu membangkitkan setitik harap di hati orang-orang yang sudah tak berani berharap.

Si cahaya itu hendak dipadamkan oleh si dengki yang alih-alih merasa diterangi, malah merasa disilaukan. Pernah bertemu orang yang benci pada orang yang suka menyumbang pengemis karena dianggapnya pamer? Orang-orang ini menebang pohon jambu air yang ditanam si pejuang untuk memberi kebahagiaan kepada anak-anak kampung nelayan yang lelah dan haus setelah bermain bola, sekadar melepas penat dan menikmati manisnya jambu. Buat si dengki tak boleh ada yang senang kecuali dia. Anak-anak kampung tak boleh senang. Harus susah. Harus menderita.

9 Mei 2017 di Sydney, seharian itu saya menangis. Di rumah, di kamar mandi. Saya tak menonton televisi Indonesia yang meliput beritanya, hanya membacanya dari media daring saja. Hati saya perih. Rasanya sudah lama tak menangis seperti ini. Menangis untuk sesuatu yang tidak benar-benar saya pahami. Mengapa saya menangis? Tidak tahu. Merasa sedih, iya. Orang menangis kalau sedih itu biasa. Tapi mengapa sedih? Saya jauh.

10-11 Mei 2017. Ternyata getaran itu. Getaran yang sangat kuat, beresonansi bersama-sama, mengangkat harapan yang pupus. Getaran kebangsaan. Kebhinekaan. Pernyataan bersama bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu. Milik semua. Dari Jakarta, dibawa ke berbagai daerah di Indonesia. Manado, Kupang, Yogya, dan belahan dunia lain, semua berkumpul, menguatkan hati rekan-rekannya untuk tak lelah mencintai negeri gemah ripah loh jinawi ini.


Seribu lilin untuk Ahok, 11 Juli, Tugu Proklamasi - Jakarta. Dari twitter@imanbr
Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Untuk.Indonesia.Raya!


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images