Berburu Pekerjaan di Australia (Bagian III)

7:09 PM

Sebenarnya ditulis November 2016, namun hidup saya menjadi sangat sibuk sesudahnya, tak kunjung tertuntaskan, hingga hari ini, 1 April 2017, berhasil juga diselesaikan tentu dengan telah banyak detil yang hilang dari ingatan.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya:
Bagian II
Bagian I


dan ada hubungannya dengan postingan yang ini:
BEKERJA, MENGHITUNG PURNAMA

Pencarian saya akan kerja dimulai sekitar bulan Juni 2016, saat saya mulai mengambil kelas English for Employment yang diselenggarakan untuk skilled migrant oleh pemerintah NSW. Dikelilingi para profesional dari berbagai negara, saya yang sudah sepuluh tahun tidak bekerja kantoran terpantik lagi semangatnya untuk mengantor lagi. Walau meragukan kemampuan korporasi yang sudah lama tak terpakai, ada juga rasa ingin juga kembali ngantor. Toh, anak-anak sudah bersekolah semua, tak lagi butuh saya seperti dulu.

Namun, setelah beberapa kali gagal dalam wawancara, saya mulai percaya bahwa mungkin ketinggian target yang saya bidik. Siapa yang mau mempekerjakan seorang ibu yang sudah 10 tahun off dari dunia kerja? Pekerjaan di bidang IT dulu bisa dibilang sudah tak relevan karena zaman sudah berganti. Sekarang eranya cloud computing, desain web juga sudah sangat berbeda karena kehidupan masyarakat modern kini sangat bergantung pada app, ke sanalah arahnya.

Lalu, sedang apa saya di sini? Yes, Devi, what have you been doing here exactly?

Saya menyerah namun tidak benar-benar menyerah. Berbagai lamaran telah saya layangkan, entah berapa, tak ingin menghitung, minimal ada dua puluh. Hingga akhirnya, saya pun ambil sikap: sudahlah, kita cari pekerjaan yang tidak butuh kualifikasi saja, yang tidak terlalu butuh mikir.

===================================================
25 Agustus 2016, Musim Dingin
Lokasi: Restoran "Cabe Pedas", North Ryde, Sydney - Australia

Perempuan paruh baya itu menatap saya yang masih hangat bermantel, dari balik kaca matanya. Mungkin seumur ibu saya. Kemudian dia beralih lagi ke berkas yang tadi baru saja saya isi.

"Suka masak? Kenapa tidak lamar di dapur saja?"

"Saya tidak punya pengalaman dapur komersial."

"Ah, tidak apa-apa, hampir semua di sini belajar sendiri. Tapi kamu mau coba dari bawah, ya. Tidak apa-apa. Kamu bisa coba dulu. Tidak semua orang cocok jadi waitress."

Supaya pembaca tidak salah tafsir, kalimat-kalimat di atas sama sekali tidak diucapkan dengan lemah lembut, melainkan dengan tegas dan mantap. Dia adalah salah seorang pentolan masakan Nonya yang cukup dikenal. Asalnya dari Penang, dan konon beberapa peserta Master Chef Australia berdarah Malaysia berguru padanya.

"Oke. Jadi Senin mulai."

Tadi dia sudah menjelaskan pada saya tentang berapa upah yang akan saya terima. Upah sebagai orang yang baru belajar jauh di bawah UMR. Adapun hitungannya adalah per jam. Bekerja 4 jam per hari, sebenarnya upahnya tidak buruk-buruk amat, tapi sekali lagi, itu di bawah UMR. Saya, dengan sadar menerimanya. Padahal sebenarnya berjualan empek-empek bisa menghasilkan lebih banyak dari ini. Tapi, saya pembosan. Masa bikin empek-empek terus? Saya tidak dapat membayangkan mengerok daging ikan tenggiri Australia, memisahkan urat-uratnya yang besar, menggilingnya di food processor, meratakan tepung tapioka ke dalam daging yang telah dihaluskan, dan membentuknya satu per satu, merebusnya dalam air mendidih, mengangkat yang telah mengapung, setiap hari? Saya suka empek-empek, membuatnya pun tidak keberatan, tetapi tidak setiap hari. Seminggu sekali okelah. Belum lagi membersihkan segala macam perkakas sisa tempur. Terlalu berulang dan terlalu menjenuhkan.

"Baik. Sampai ketemu hari Senin, Yardley*."

Hari itu dingin, karena memang masih musim dingin. Saya masih mengenakan mantel panjang abu-abu buatan China yang saya beli dari eBay. Mantel murahan memang, tapi sudah lumayan memberikan kehangatan untuk saya hari itu. Sambil mengancingkan kancing-kancingnya yang sudah hilang satu, saya bertekad membeli mantel yang berkualitas lebih baik untuk musim dingin tahun depan, dengan hasil keringat sendiri. Suatu hari nanti.


29 Agustus 2016
Pukul 09:15
Habis mengantar anak-anak ke sekolah, saya naik bus dari stasiun Turramurra. Baru sekali ini saya mengalami menunggu bus bersama orang-orang yang beraktivitas pagi hari. Bus-bus berbadan besar keluar masuk terminal kecil itu. Saya perhatikan di shift pagi ini cukup banyak supir bus perempuan. Saya jarang bertemu supir bus perempuan, mungkin karena sebelum ini saya selalu naik bus ketika hari siang. Saya asumsikan, perempuan-perempuan perkasa ini mengambil shift pagi agar bisa tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu tanpa kehilangan penghasilan.

Hari pertama. Pukul 10:00
Saya langsung bertemu Farah, waitress senior, yang akan memberikan training kepada saya. Dia berasal dari Mauritius dan sudah bekerja di sini selama 6 tahun. Saya tidak tahu pasti umurnya berapa, namun saya tebak sekitar awal 30-an. Sebagai tim pagi, pekerjaan yang harus dilakukan pertama adalah bersih-bersih. Tim A membersihkan toilet laki-laki dan perempuan, kemudian mengepel lantai, lalu membereskan meja. Tim B mem-vacuum lantai berbahan kayu, membersihkan lantai di bagian outdoor dari daun-daun dan apa pun yang merusak pemandangan, lalu mengelap semua meja. Tim A dan tim B akan bergantian melakukan tugas setiap harinya.

Ada Jin, Oi, dan Lien juga. Jin dan Oi mahasiswa, bekerja seminggu dua kali, sementara Lien adalah pramusaji senior yang bekerja tiap hari.

Hari itu saya diajari cara membersihkan toilet. Bukan bersih secara mendetil, kok, bersih kilat saja: lap dudukan toilet dengan larutan pembersih, lap wastafel, pastikan tisu terpasang, dan pel lantainya, lalu buang sampah yang ada.

Kemudian mengepel lantai ruangan dalam. Ini cukup berat, karena ruangannya cukup besar, bisa menampung setidaknya 70 tamu. Saya juga harus ingat nomor-nomor meja, karena nanti ketika mencatat pesanan, nomor meja adalah patokan. Sulit sekali bagi saya untuk mengingatnya, karena nomornya tidak selalu urut. Mereka punya sistem penomoran yang tidak saya pahami, tidak intuitif. Lama-lama juga terbiasa kok, hibur Farah. Ya, tentu.

Di bawah ini layout restoran yang lamat-lamat saya ingat. Tentu tak tepat, tapi begini gambarannya. Saya melayani di dalam (biru), juga di luar abu-abu. Nomor meja acak, dalam dan luar, harus kau ingat dengan tepat, karena salah nomor, berarti salah bill. Runyam. Maafkan denah yang dikerjakan secara acakadut oleh orang yang tidak berpendidikan arsitektur ini, ya.
Ingatan yang patah
Hari pertama saya masih banyak mengamati, melihat bagaimana tiga orang (empat dengan saya) bekerja melayani restoran yang sibuk ketika jam makan siang.

Aslinya begini, Farah saya samarkan wajahnya
Setiap ada tamu datang, waitress akan menghampiri dengan membawa botol berisi air dingin (air keran yang harus terus menerus diisikan ke botol). Jika tamu seorang diri, cukup bawa satu gelas tinggi, jika lebih dari dua orang, bawakan botol dengan gelas kecil sesuai jumlah orang. Lalu, bersiap mencatat pesanan. Kadang mereka memesan minuman beralkohol, sesuai peraturan, yang boleh menghidangkan, hanya orang yang punya izin RSA (responsible service of alcohol). Saya tidak punya, jadi hanya dua senior Farah, Lien, juga pemilik laki-laki yang bernama Arnold yang boleh menghidangkan.

Membawa order ke dapur pun perlu kode khusus yang dipahami oleh para koki. Jepit tiga warna penanda tingkat kepedasan, lalu digantung sesuai urutan yang sampai saya berhenti tak juga saya pahami aturannya. Ah! Memang sudah umur.

Setiap menu punya aturan topping yang berbeda. Ada yang pakai sayuran iris, ada yang pakai lemon, bawang goreng ada dua macam, sendok berbeda untuk laksa, sambal belacan ada dua macam, kepala saya nyut-nyutan menghafalkan semua ini. Paling sulit membawa mangkuk laksa yang besar dan berat, cara memegangnya harus benar.

Mengangkat piring-piring kotor pun jadi cerita tersendiri. Ada rasa geli saat jari bersentuhan dengan bekas makanan orang. Piring, mangkok, gelas, disusun sedemikian rupa agar mudah dibawa. Sepatu boot saya yang tak cocok untuk pekerjaan ini beberapa kali membuat saya nyaris terpeleset. Meja yang telah ditinggalkan tamu, harus dilap secepat kilat, supaya siap untuk tamu berikut.

Sampai, tibalah jam 2 siang, waktunya saya pulang. Capek.

30 Agustus - 7 September
Hari kedua - hari ketujuh
Mengulang lagi semua rutinitas kemarin. Karena datang jam 10, jika kerja cepat, maka ada waktu agak santai, karena restoran bukan jam 11.30. Para koki makan sebelum mereka akan bekerja tanpa henti. Tak ada yang mengajak saya bicara, saya ajak bicara kadang mereka tidak jawab. Rasanya sangat tidak nyaman. Tapi, lalu saya berkenalan dengan Lina, asisten koki, dia ternyata orang Indonesia. Koki utamanya, Deni, juga orang Indonesia. Wah. Tapi mereka semua sibuk, tak ada waktu untuk ngobrol. "Bos gua galak, denger kan kalo lagi bentak-bentak. Tapi gua mah udah kebal," kata Lina tentang Yardley.

Saya mulai melayani di area hotbar atau buffet. Pengunjung menunjuk menu apa yang mereka mau, lalu membayar sesuai jumlah menu. Misal, nasi putih/nasi goreng dengan dua lauk, $10.5, maka tiga lauk dikenakan $12 misalnya. Kecepatan menghitung diperlukan di sini.

Hari Selasa dan Rabu luar biasa ramainya. Kamis juga, saya nyaris tak punya waktu menarik napas. Kesalahan terjadi beberapa kali, seperti nomor meja yang tertukar, ya, kadang-kadang penanda di atas meja itu bisa tertukar, tapi pramusaji wajib hafal nomor meja tanpa mengandalkan papan tanda. Ah, sulitnya.

Oh iya, enaknya bekerja di restoran, kami boleh membungkus makanan "hotbar". Enak, kok.

Hari Kamis sore, sampai di rumah, tangan saya terasa sakit dan ngilu. Saya putuskan tidak masuk besok, saya menelepon Farah keesokan pagi, "Tangan saya sakit, Farah. Tidak bisa kerja."

Senin minggu depannya saya masuk dengan rasa enggan. Kesepian itu makin terasa mengganggu. Kesendirian itu menyiksa dan membuat saya merasa terasing. Saat demikian, saya akan ke toilet dan berdiri di situ, menyibukkan diri, menatap langit-langit, lantai, memijit-mijit ponsel.

Bekerja sebagai waitress, membuatmu dikira masih mahasiswa. Suatu hari, ada satu rombongan besar datang, mereka entah dari perusahaan apa, tapi lima orang di antaranya adalah orang Jepang. Mereka tak pintar berbahasa Inggris, tapi mereka sopan. Saya ditanya oleh ketua rombongan yang orang Singapore, apakah mahasiswa, tidak jawab saya kepada mereka. Cukup membuat saya sedikit gembira. Aha.

Rabu sore, saya diajak bicara oleh perekrut saya, Yardley. Menurut pengamatannya, saya tidak cocok untuk pekerjaan ini. Jadwal saya juga mereka kurang suka, 10 pagi - 2 sore. "Terlalu berat untuk Farah dan Lien," kata dia. Baiklah. Saya pun merasa tak betah dengan tempat ini, kata saya dalam hati. Cukup sampai di sini saja hubungan kita. :)

Kamis saya tetapkan jadi hari terakhir, karena saya butuh upahnya. Meski Arnold minta saya datang hari Jumat dengan iming-iming tambahan $2 per jam, saya tak lagi tertarik. Cukup sudah. Saya telah belajar sesuatu, bahwa pekerjaan ini membutuhkan stamina anak muda berusia belasan hingga dua puluhan. Haha. Gaji saya bawa pulang hari itu, lumayan, tidak kena pajak, namun untuk orang dewasa gaji ini sungguh di bawah UMR. Tak apalah, toh saya akhirnya bisa mencicipi bagaimana rasanya jadi waitress. Respek saya kepada profesi ini meningkat.

Post waitressing
Kembalilah jadi pengangguran lagi. Menjual pempek dan sesekali mi lagi. Mengumpulkan receh sedikit demi sedikit, yang tak banyak juga karena volume yang rendah. Saya ini terlalu manja mungkin, ya, tak biasa kerja keras yang memerlukan keandalan fisik.
Mari, makan pempek saja.



23 Nov 2016.




You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images