Rasa Bahasa

9:53 PM

Apa rasa bahasa? Asin, manis, asam, pahit, pedas, atau bahkan tawar? Boleh dong bahasa punya rasa asal jangan baper (terbawa perasaan), dong? Hehehe.

Komedian tunggal nan cerdas Trevor Noah dalam salah satu pentasnya mengulik masalah ini dengan menjadikan bahasa Rusia sebagai contoh. Pernah dengar orang Rusia bicara dalam bahasa Inggris? Bagaimana kedengarannya?

Igor Kapersky (dengan logat Rusia), "Wherrre arrre you going?"mampu membuat sukmamu bergetar, mengirimkan rasa dingin yang pekat ke sendi-sendi hingga tak sadar kamu menggigil. Ada apa ini? Bukankah Igor hanya bertanya kita hendak ke mana, tetapi mengapa pikiran kita menerjemahkannya sebagai ancaman kematian?

Lalu, Igo menanyakan pertanyaan yang sama kepada istrinya yang hendak beranjak dalam bahasa Rusia, "Ты куда?" dan kamu merasa biasa-biasa saja, seperti mendengar percakapan sehari-hari walau tidak mengerti artinya. Mengapa bisa begitu?

Karena bahasa punya rasa. Setuju? Bahasa itu tidak netral, bahasa itu punya muatan. Ada budaya, ada tradisi, kepercayaan, dan berbagai sistem yang berperan dalam membentuk dan menyusun suatu bahasa.

Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia
Bahasa Jawa adalah bahasa yang saya akuisisi setelah dewasa. Umur 15 tahun saya mulai belajar bahasa ini saat bersekolah di Yogyakarta. Tiga tahun di sana lumayan membuat saya mampu berkomunikasi dalam bahasa Jawa sehari-hari tanpa terlalu banyak kesulitan. Tidak 100% kosa kata saya tahu, tapi lumayanlah untuk ngobrol saja, atau minimal tahu sedang digosipi. Sayangnya, karena hanya sebentar, ketika berbahasa Jawa lisan, tentu saja ketidakaslian saya terlihat jelas. Haha.
Bahasa Jawa sendiri pun terbagi lagi, bahasa sehari-hari dengan teman, dan bahasa halus yang digunakan dengan orang tua atau orang yang lebih tua dan dihormati.

Basa Jawa alus saya sangat terbatas, namun manjur dan efektif digunakan untuk menawar tarif tukang becak saat SMA dulu.
"Kotabaru nggih, Pak? Pinten? Gangsal atus, nggih?"
Biasanya trik berbahasa Jawa halus ini sukses membuat Pak Becak luluh dan mengantarkan saya ke sekolah dengan harga minimal. Pak Becak merasa mendapat penghormatan karena saya telah berbahasa Jawa halus dengannya, mungkin setengah kasihan karena yang ngomong kok tidak ada logat Jawanya sama sekali, hitung-hitung amal. Kalau dipikir-pikir sekarang, kasian juga, tapi saya dulu cekak sekali kantongnya, anak kos, kiriman terbatas, tak punya kendaraan.

Ada yang selalu saya ingat ketika ditanya dalam bahasa Jawa, "Baru apa?" yang sebenarnya diterjemahkan dari bahasa Jawa, "Bar ngapa?" Padahal, bar ngapa (dibaca: bar ngopo) itu artinya habis ngapain, sedangkan yang ditanyakan sebenarnya adalah, "Sedang apa?" Nah, kan, orang Jawanya sendiri jadi bingung. Hehehe.

Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia
Sebagai penutur asli bahasa Indonesia yang telah melewatkan 90% masa hidupnya di Indonesia dan kini tinggal di Sydney, saya masih harus banyak belajar memahami dan mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa yang aktif bekerja dalam prosesor otak saya.

Berikut ini beberapa pengalaman saya.

Saat awal-awal datang di kota ini, ada seorang teman Indonesia yang baik hati dan sudah lama sekali tinggal di Australia berkata bahwa dia ingin punya keluarga. Teman saya ini sudah menikah, usia pernikahannya seumur pernikahan saya, belasan tahun. Bedanya, saya punya anak tiga, dia belum, dan merindukan hal itu terjadi.

Otak Indonesia saya menolak pernyataan itu, karena di dalam bahasa Indonesia, berkeluarga itu artinya telah menikah. Namun, bagian otak saya yang memroses bahasa Inggris paham, bahwa konsep keluarga (family) dalam bahasa Inggris adalah juga kombinasi orang tua (tunggal maupun ganda) dan anak.

"How's your family, Devi?" tanya seorang teman kantor.
"Oh, they are getting better," jawab saya, mengerti bahwa dia menanyakan kabar anak-anak saya yang belum lama ini sakit.

Katakanlah seorang bujang lapuk bernama Amir tak sengaja bertemu dengan mantan pacarnya Merry. Mereka pun berbicara dengan hangat. Amir mendadak CLBK, berseri-seri hatinya teringat masa lalu, apalagi dilihatnya jari manis Merry masih polos. Sayang seribu disayang, sore itu harapan Amir yang setinggi langit harus kandas. "Merry baru saja berkeluarga," katanya getir menggigit bibir menahan tangis yang hendak tumpah.

Contoh lagi. Tentang nama. "What's your name?"
Kita tidak bisa menerjemahkan kalimat ini ke dalam bahasa Indonesia tanpa memahami tatanan dalam masyarakat Indonesia. "What's your name?" adalah salah jika diterjemahkan sebagai "Apa namamu?"Yang benar adalah "Siapa namamu?" Demikian juga kita tidak bisa bertanya demikian kepada orang berbahasa Inggris, "Who's your name?" Karena ada perbedaan logika, perbedaan nilai. Bagi orang Indonesia, nama adalah sesuatu yang tak terpisahkan dengan diri. Kita bahkan kadang mengganti kata ganti orang kedua (kamu) dengan panggilan. Kepada Pak Bakrie yang sedang melintas kita bertanya, "Pak Bakrie mau ke mana?" alih-alih "Kamu mau ke mana?". Ada perbedaan rasa, kita merasa tak sopan bertanya demikian kepada Pak Bakri. Kepada yang lebih muda, "Adik jangan lupa gosok gigi, ya."

Baca lebih lengkap di sini: https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/02/21/apa-namamu/

Ada lagi tentang teman. Untuk orang Indonesia, jamak sekali istilah teman digunakan untuk menyebut orang-orang yang hadir di sekitar kita walau tak ada relasi khusus di antaranya. Sementara di dalam bahasa Inggris, friend disematkan kepada orang-orang yang khusus, yang memiliki kedekatan secara hubungan. Di dalam bahasa Indonesia, kita menyebut orang-orang yang sekelas dengan kita sebagai teman sekelas, yang satu sekolah teman sekolah, yang sekantor teman kantor, dan lain-lain. Tidak untuk penutur bahasa Inggris. Teman kantor adalah colleagues, teman sekelas adalah classmates, mereka tidak akan disebut sebagai friend kecuali memang kita punya hubungan dekat dengannya. Jadi, jangan pernah bilang, "Ah, Joe is my friend in the office," jika yang Anda maksud Joe adalah rekan satu kantor, Anda tak pernah main bareng di luar kantor atau ngobrol lebih dari basa-basi dengannya. Kimi, anak saya yang bontot, yang logika berbahasa Indonesianya sudah nyaris terkikis habis, membantah ketika saya menyebut Angus teman sekelasnya sebagai "your friend" atau temanmu. "No! He is not my friend." Terasa kasar dalam bahasa Indonesia, ya. Tapi tidak demikian dalam bahasa Inggris. Memang begitulah kenyataannya. Tidak ada kecocokan, tidak main bareng, walaupun sekelas, tidak dapat disebut sebagai "friend". Hanya "rekan sekelas".

Yang terakhir tentang kabar. Kadang-kadang di gereja, ada acara yang dibuat untuk merayakan keberagaman. Waktu itu ada acara yang diselenggarakan oleh komunitas Indonesia. Beberapa teman (teman dalam pengertian bahasa Indonesia, yaaaaa) yang bertugas sebagai panitia memakai kaus oblong bertuliskan, "Bagaimana saya dapat membantu Anda?" Saya jengah dan gundah. Ada yang tidak tepat. Kalimat itu benar secara struktur, tapi penutur aslinya pasti akan merasa ada yang salah karena kita tahu tidak demikian kita menanyakan kabar. Kita akan bertanya seperti ini, "Apa yang dapat saya bantu?" atau "Ada yang bisa dibantu/saya bantu?"

Saya punya teman Indonesia (ini teman sungguhan, ya), selalu dengan sumringah menyapa tiap bertemu, "Bagaimana kabar?." Yang dia maksud sebenarnya adalah "Apa kabar". Biasanya saya jawab begini saja, "Kabar baik. Apa kabar?". Kali lain, "Baik. Bagaimana kabarmu?"

Aha.



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images