Sudah Terkontaminasi Sejauh Mana?

7:10 AM

Tinggal di negara orang, mau tidak mau, pasti kita akan terpengaruh dengan budaya dan kebiasaan di negara tersebut, dan mau tidak mau ada bagian identitas kebangsaan kita yang tergerus, sadar maupun tidak!

Sumber: Wikimedia
Well, jadi seberapa terpengaruhnya seseorang, bisa terlihat dalam beberapa hal. Ini hasil pengamatan pribadi saya setelah tinggal di Australia selama 6 bulan. Ya, tiba-tiba sudah 6 bulan saja kami di sini. Kami sekeluarga, sih, masih sangat gres, jadi keindonesiaan kami di tempat ini belum perlu dipertanyakan. :)

Anak-anak kami, dari Kimi (hampir 5), Chloe (7), Joel (11), semuanya masih fasih berbahasa Indonesia, dan masih aktif menggunakannya untuk bercakap-cakap antara mereka, walau mulai terselip beberapa kata bahasa Inggris yang tadinya jarang mereka gunakan.
Menu harian kami pun 95% menu keluarga Indonesia pada umumnya. Karbohidrat kami dipenuhi oleh nasi, mie, atau bihun. Sedangkan roti dipilih untuk bekal makan siang atas alasan kepraktisan saja, bukan karena kami suka. Chloe terutama, terlihat paling berisi ketika sedang libur sekolah, karena kalau makan siang di rumah menunya dia suka, tidak melulu sandwich, pizza, sushi.
A tradition that we'll never let go. A tradition that I will probably never let go of either, simply because like religion, culture is nailed into you so deep you can't escape it. No matter how far you run. -Josephine Alibrandi
Tapi, bagaimana dengan mereka yang tinggal sudah cukup lama di sini? Tak mau kalah dengan Mak Icih, saya mencoba memberikan derajat ke-Aussie-an seseorang berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Level 1-8, makin tinggi levelnya, makin terkontaminasi orang itu.

Seorang teman kami, sebut namanya John, sudah sejak SMP dikirim oleh orang tuanya untuk bersekolah di Australia. John masih bisa berbahasa Indonesia dengan baik, dengan logat yang tidak kebule-bulean, tapi, John yang sudah menikah cukup lama dan belum punya anak ini pernah berkata kepada saya, "Saya masih mau punya keluarga. I am still wanting a family."
Buat orang Indonesia pada umumnya, pernyataan dia ini tentu terasa aneh. Dia kan sudah menikah? Bukankah dalam bahasa Indonesia family itu adalah "keluarga", dan seseorang yang sudah menikah disebut sebagai "sudah berkeluarga"?
Namun, tidak demikian dengan bahasa Inggris. Di dalam bahasa Inggris, konsep family adalah orang tua dengan anak. Orang tua tunggal dengan anaknya juga sudah memenuhi syarat untuk disebut family.

family
[fam-uh-lee, fam-lee] 

Examples 
Word Origin 

nounplural families.
1.
  1. a basic social unit consisting of parents and their children, considered as a group, whether dwelling together or not:
    the traditional family.
  2. a social unit consisting of one or more adults together with the children they care for:
    a single-parent family.

Jadi, jika seorang Indonesia yang sudah menikah mengatakan dia ingin punya keluarga, tahulah kamu, bahwa level ke-Australia-annya sudah di level tertinggi, karena sudah di level tata berpikirnya, bahasa Inggris yang telah dia akrabi sejak lama telah menggeser konsepnya tentang keluarga. John jelas sudah sangat terkontaminasi, sehingga saya taruh dia di level 8. :)

Oleh sebab itu, sebaiknya belajar bahasa memang tidak bisa sekadar menerjemahkan kata per kata. Kita harus pahami budayanya juga. Dengan demikian otak kita akan menyimpan info itu, dan ketika kita berbicara dalam bahasa lain, yang keluar bukanlah hasil terjemahan bahasa itu dari bahasa ibu kita (baca: Indonesia). #bakseoranglinguist

Level di bawah ini, level 3-7,  adalah mereka yang telah sangat terbiasa hidup dalam kepastian dan keteraturan. Australia yang saya alami, Sydney khususnya, adalah tempat di mana hampir tidak ada lagi kejutan. Semuanya seperti diatur oleh mesin. Kereta api yang datang sesuai jamnya, bus yang datangnya cuma sejam sekali seperti di daerah utara sini, terlewat busnya, berarti harus tunggu satu jam lagi. Semuanya bisa dikatakan serba terprediksi di sini. Tak ada lagi kejutan-kejutan kecil yang sering kita temui di Indonesia. Misal: rute yang kita biasa lalui super duper macet karena lampu lalu lintas mati, atau rute yang biasa kita lalui mendadak sangat lancar. Atau, cabe yang biasanya Rp25.000/kg hari ini tiba-tiba menjadi Rp100.000/kg. Tidak ada, tidak ada lagi kejutan semacam ini. Semuanya berjalan di jalurnya, tiap hari, tiap waktu, terprediksi. Sekali pun pewaktuannya meleset, akan selalu berusaha dinormalkan kembali secepatnya.
Nah, dengan segala macam keteraturan ini, apa yang terjadi dengan pendatang Indonesia? Dia jadi terbiasa. Begitu terbiasanya, sehingga jika ada kejutan, dia jadi ketakutan sendiri. Di Australia (dan negara maju lain tentu) semuanya jelas. Melanggar = denda, dendanya tidak main-main, dan ditegakkan dengan konsisten. Naluri rebel khas Indonesia pun pelan-pelan terkikis. Pulang ke negara asalnya, dia merasa tidak aman. Takut dicopet, dirampok, dll. Kefleksibelan khas Indonesia hilang sudah. :) Dan, sama seperti yang ada dalam pikiran orang Australia yang hanya pernah ke Bali, Indonesia mulai dipandang sebagai tempat yang tidak aman. Ya, Indonesia memang tidak seaman Australia, tetapi ketika masih tinggal di daerah bernama Gading Serpong, kami hidup baik-baik saja, walau berita tentang begal cukup santer, juga ternyata 2-3 kali pencurian di dalam cluster kami.

Pertama kali kami tiba di Sydney, tentu saja kami mengalami beberapa benturan budaya. Parkir berbayar yang harganya cukup fantastis untuk orang yang baru tiba dari Indonesia, $5/15 menit misalnya, itu kan setara dengan Rp50.000? Masa parkir semahal itu, dibatasin hanya 15 menit pula. Nah, buat yang sudah di level 6 ke atas, hal seperti ini sepele sekali. Orang-orang Indonesia yang sudah tinggal lama di sini tentu akan tutup mata saja, karena mereka sudah tidak lagi menghidupi rupiah. :) Tidak lagi selalu mengkonversi harga-harga ke dalam rupiah. Mereka sudah beradaptasi dengan baik, dan tidak lagi mempersoalkan masalah-masalah begini. Bisa jadi juga karena mereka sudah menghasilkan dollar, ngapain lagi mikirin rupiah?

Belum lagi harga printer yang terkesan cukup murah $45, tetapi harga tintanya $44.9 misalnya. Itu di luar pemahaman saya sebagai orang Indonesia sejati. *apasih Saya rindu #tintasuntik. Benar-benar masih mental orang negara ketiga, ya. :)

Saya, tentu saja ada di level terbawah, yaitu level 1,  tapi sudah pelan-pelan mau naik level. Saya sudah jarang mengkonversi harga ke rupiah, pikiran saya sudah diatur, bahwa satu cangkir kopi di sini kira-kira $3. Satu porsi makan siang standar $10. Itu saja yang jadi pegangan saya. :) Saya juga sudah terbiasa mendengar kata 'thong' dipakai untuk menyebut sandal jepit, atau letter box alih-alih mail box, juga mulai rajin menyapa dengan 'how are you, how have you been doing' alih-alih hanya 'hi' saja. Juga tidak lupa, mengeluarkan sendiri barang belanjaan dari keranjang saat di kasir, dan mengembalikan keranjang itu langsung ke tempatnya.

Demikianlah, enam bulan baru saja kami lewatkan dengan baik. Edisi galau saya juga sudah lebih dapat dijinakkan. Proses adaptasi sedang berjalan terus, namun seperti yang saya kutip di atas dari buku Looking for Alibrandi (Melina Marchetta), budaya itu terpatri begitu kuat di dalam kita, sehingga sebesar apa pun usaha dan upaya kita untuk menjauh dan meninggalkannya, tidak akan pernah berhasil.




You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images