Terpikat Scenic World di Blue Mountains
12:04 PMKami (khususnya Pampi) memang suka sekali dengan tempat ini. Bayangkan, walau berjarak lebih dari 100 km dari rumah, dalam kurun waktu dua bulan sudah tiga kali kami ke sini. Kalau bisa malah tiap minggu ke sini, hahahaha.
Di manakah Blue Mountains? Di situ, tuh. |
Menurut teori yang beredar, itu disebabkan oleh tanaman utama yang tumbuh di sini, yaitu eucalyptus atau eukaliptus dalam bahasa Indonesia, iya, tanaman kesukaan koala itu.
Daerah ini memiliki pohon eukaliptus yang sangat besar dan dengan tingkat kepadatan yang tinggi pula. Kita tentu sudah tidak asing dengan minyak atsiri (essential oil) yang dihasilkan oleh pohon ini. Minyak eukaliptus ini menghasilkan gas, yang saat bercampur dengan partikel debu dan uap air akan merefraksikan cahaya yang ditangkap sebagai warna biru oleh mata manusia. (Oh, jadi kangen ngajar science lagi. Anak-anak kelas 5-ku, apa kabar kalian, masih ingat pelajaran ini?)
Banyak yang bisa dilakukan di tempat ini, dari yang gratis (bushwalking), hingga yang berbayar. Ada beberapa provider yang menyediakan berbagai alternatif mengalami Blue Mountains dalam kepenuhannya. Ahey. Scenic World adalah salah satu penyedia jasa itu. Karena ini adalah kunjungan ketiga, rasanya sudah waktunya kami merogoh kocek untuk menikmati tempat ini dengan lebih maksimal bersama Scenic World.
Pilihan kami adalah Scenic World, dengan tiga wahana utamanya: Skyway, Railway, Cableway, dan Walkway buat yang tidak keberatan berjalan kaki selama 20-50 menit.
Kami memesan tiket lewat web mereka, karena pilihan early bird di masa libur sekolah (diskon $11) hanya bisa dipesan secara online, tapi syaratnya, kami harus tiba sebelum pk. 10.00 pagi. Tidak masalah.
Pukul 10 kurang, kami sudah sampai di gedung Scenic World yang terletak di sebuah kota kecil bernama Katoomba. Disambut oleh petugas yang ramah, kami diberikan gelang berisi kode, yang harus di-scan tiap masuk wahan. Si petugas menjelaskan dengan bahasa Inggris yang terdengar sangat nyaman di kuping (sepertinya orang Amerika), kami disarankan mengambil rute Railway ke stasiun bawah di dasar lembah Jamison dulu, kemudian menyusuri Walkway sekitar 10 menit, lalu kembali lagi ke atas dengan Cableway, lanjut dengan Skyway menyeberang ke sisi lain sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, lalu berjalan-jalan di Walkway sekitar 50 menit. Sip, kami ambil rute itu saja. Ada pun, semua wahana boleh dinaiki sampai mbleneg, unlimited.
Bottom station |
Jalur ini dulu digunakan sekitar tahun 1870-an oleh para penambang batubara dan shale oil (apa ya bahasa Indonesianya?) untuk turun ke Jamison Valley dan naik lagi ke atas. Oleh sebab itu, di lembah kita akan menemukan bekas tempat tinggal sementara para penambang. Beberapa ember kaleng rombeng raksasa sengaja dibiarkan tergeletak di dasar lembah. Ember raksasa ini digunakan untuk mengangkut hasil tambang.
Ini ada video dari Youtube, pura-pura saja sedang jadi penambang yang hendak turun bekerja. :)
Berikutnya Skyway, juga menawarkan sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Saat mengambang di udara, kami bisa melihat dari lantai kaca, betapa menakjubkannya pemandangan di bawah, atau Three Sisters yang terpahat begitu cantik di Echo Point.
Konon, menurut legenda yang entah beneran milik orang Aborigin atau buatan warga lokal Katoomba, Three Sisters adalah tiga bersaudari cantik jelita yang disihir menjadi batu oleh tetua di sana. Ketiga saudari ini ditaksir berat oleh tiga saudara dari kampung sebelah. Namun, peraturan suku mereka melarang adanya pernikahan lintas suku. Tiga saudara dari kampung Nepean itu tidak mau menyerah dan bermaksud menculik ketiga gadis cantik jelita itu. Tetua, demi mengetahui hal itu, segera melakukan pencegahan dengan mengubah tiga gadis sukunya menjadi batu. Rencananya nanti tetua akan membatalkan mantranya kalau tiga pemuda keras kepala itu sudah pergi. Tapi, takdir bicara lain, terjadi perang suku, saudara-saudara. Si tetua wafat dalam perang itu. Tiga gadis telah berubah menjadi batu, membeku bersama waktu. Tentu saja ini hasil terjemahan bebas saya. :)
Maaf, tidak ada foto Three Sisters yang lebih bagus di hape saya. Mending googling saja, ya. :)
Three Sisters di belakang Joel |
Ini foto kami saat sedang melayang entah di ketinggian 270 meter di atas udara. Dari lantai kaca terlihat di bawah sana terhampar pepohonan di dasar lembah Jamison.
lihat ke bawah! |
menyaksikan kereta yang kami tumpangi tadi meluncur pergi |
Jalur pejalan kaki dibuat sedemikian rupa untuk tidak mencederai ekosistem yang ada |
Apa yang menarik dalam perjalanan menyusuri jalan yang terbuat dari papan ini? Wah, tak terkatakan rasanya berjalan-jalan di dasar lembah Jamison, masuk kepada ratusan tahun lalu, saat para penambang masih giat bekerja.
Juga, ketika tiba di hutan hujan tropisnya yang sudah tua sekali umurnya, yang konon telah ada sebelum zaman Jurassic. Rasanya menyenangkan sekali.
Welcome to Mining Area |
Replika poni yang biasa digunakan para penambang |
Replika pondok penambang |
Pohon ini misalnya. Apa yang istimewa tentang pohon yang bentuknya tidak wajar ini?
Pengelola melengkapinya dengan sebuah catatan atas peristiwa yang pernah dialami si pohon.
Si akasia tekuk |
Kisah hidupnya, mengapa batangnya menekuk. Klik saja. |
Bonggol-bonggol itu adalah usahanya menumbuhkan ranting, namun gagal terus. |
Atau tanaman ini, diberi catatan bahwa di seantero hutan mahal luas ini, hanya di pojok sinilah ia tumbuh. Silakan diklik untuk dapat membaca informasinya lebih jelas, ya.
Nah, karena Scenic Walkway ini memiliki tujuan agar manusia dapat menikmati alam tanpa harus menyakiti ekosistem, lihatlah bagaimana mereka memperlakukan pohon-pohon yang tumbuh di jalur pejalan kaki. Pohon itu tidak ditebang, papannya yang dilubangi.
Bahkan ada satu pohon eukaliptus yang saya temui, diberi catatan bahwa ketika broadwalk dibangun tahun 2001, pohon ini masih berupa tunas. Sebagai informasi, eukaliptus bisa mencapai 100 meter. Akan menarik sekali mengikuti pertumbuhan pohon tersebut.
Pohon di tengah jalan |
mengintip dalamnya batang pohon |
lihat paruh hitam panjangnya yang lucu seperti sedang mengendus-endus |
yah, dia pergi, deh.. |
0 comments