Sudah Dua Bulan

9:45 PM

Tepat dua bulan hari ini kami tinggal di Australia, di negara bagian New South Wales.
Banyak hal yang telah terjadi selama dua bulan ini, dan hari ini saya ingin mengucap syukur atas pemeliharaan dan penyediaan Tuhan yang luar biasa untuk kami berlima.

1. Syukur untuk pekerjaan.
Biaya hidup di sini sangat tinggi, Sydney bahkan adalah salah satu kota dengan biaya hidup paling tinggi di dunia. Bayangkan ketika datang, uang yang kami bawa adalah hasil konversi rupiah ke Australian Dollar. Jika seporsi makan siang di restoran sekelas Solaria adalah Rp25.000 maka di kelas yang sama di Sydney setidaknya kita harus merogoh kocek $7-$12, atau rata-rata $10 aja kali, ya (untuk memudahkan konversi kalikan dengan 10.000). Jadi harga makanan di Sydney kita anggap saja 4x lipat di Jakarta. Karena kami berlima, jika kami makan di luar, kami minimal harus siap dengan $40 (air putih rata-rata gratis di sini). Itu baru makanan, belum kebutuhan pokok lain seperti air, listrik, gas. Jika tidak mendapat pemasukan dalam AUD, akan sulit bertahan, walaupun kami mendapat bantuan tunjangan anak dan uang sekolah anak-anak gratis.
Selain itu biaya sewa rumah/apartemen juga amat mencengangkan. Biaya sewa sebulan setara dengan sewa setahun di Gading Serpong. Jadi, mendapat pekerjaan adalah sebuah keharusan, tidak bisa ditawar.
Mendapat pekerjaan di Australia juga bukan suatu hal yang mudah, khususnya pekerjaan kantoran. Kebanyakan perusahaan minta local experience. Bagaimana kamu bisa punya pengalaman lokal kalau kamu baru datang? Sesenior apa pun kita di Indonesia tak jadi jaminan kita akan diterima. Tanpa referensi, sulit. Walaupun kami sudah mengambil ancang-ancang andai harus mengambil pekerjaan sektor non formal, jujur, kami berharap ada pekerjaan kantoran yang tersedia untuk Pampi. Saya tak bisa membayangkan dia bekerja di restoran sebagai kitchen hand, cleaner, housekeeping, sebagai filler (mengisi rak, dll) di supermarket, angkat-angkat, dll. Di rumah aja jarang turun tangan, jangan-jangan tidak ada yang mau pekerjakan, karena sangat kurang pengalaman. Hahahaha.

Adalah pertemuan kami dengan Steve di Hillsong Church. Setelah ibadah Minggu 19 Juli 2015, kami diundang hadir di Welcome Home Party, yang diadakan gereja untuk menyambut orang-orang yang baru datang ke gereja dan ingin bergabung. Biasanya saya malas ikut acara-acara begini, karena merasa bukan 'orang baru', saya kan sudah lama bergereja, bukan orang Kristen baru, demikian pikir saya.
Namun, di sinilah kami bertemu dengan Steve. Karena kami orang Indonesia, oleh penyambut kami diarahkan ke pasangan suami istri Indonesia yang akan menjadi host kami, Ferry dan Lily. Saat sedang ngobrol-ngobrol, datanglah Steve bergabung. Steve ini orang Indonesia yang sudah sangat lama di Sydney, dan dia adalah salah satu pendiri Indonesia Hillsong Community, sebuah komunitas yang bertujuan untuk menyediakan pertemanan, persahabatan, khususnya untuk orang-orang Indonesia yang baru datang ke Sydney.

Berangkat menemui headhunter di North Sydney
Bukan kebetulan jika Steve bekerja di bagian IT sebuah perusahaan rekrutmen, atau headhunter. Begitu tahu Pampi sedang mencari pekerjaan, Steve langsung meminta CV Pampi. Dari situlah kisah kami berubah. Hanya dalam waktu beberapa hari, seorang headhunter rekan kerja Steve menghubungi Pampi, ada lowongan yang cocok katanya. Lalu, 22 Juli, Pampi diminta datang menemui headhunter itu. Headhunter berkata CV Pampi akan diteruskan kepada perusahaan kliennya, tinggal tunggu dihubungi. Kami menunggu setelah itu dalam cemas, karena belum juga dihubungi. Satu minggu lewat, belum ada kabar. Kami ajak anak-anak berdoa, agar Papa mendapat pekerjaan. Ajaibnya, besok si headhunter menelepon, kliennya sudah oke, Pampi diminta datang untuk wawancara di sebuah tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal kami saat itu.

Dua kali wawancara, umum dan teknis, 6 Agustus 2015, kabar itu pun datanglah. Pampi diterima. Gaji yang diminta (hasil rembugan dengan headhunter) juga sudah disetujui. Steve pernah bilang bahwa sebaiknya untuk pendatang baru, jangan terlalu tinggi minta gajinya, dia menyebut sebuah angka yang dianggapnya pantas. Namun, tawaran yang Pampi terima, lebih tinggi dari angka itu. Jobdesc-nya pun sesuai dengan minat dan latar belakangnya. Bukankah itu luar biasa? Saya sendiri mungkin nanti juga akan mencari pekerjaan, saat ini Kimi masih di rumah, jadi tidak mungkin saya bekerja kecuali Kimi dimasukkan ke daycare, tentu saya tidak mau :).

2. Syukur untuk tempat tinggal.
Menentukan di mana kami akan tinggal juga adalah sebuah pekerjaan yang besar. Bagaimana mungkin kami tahu mau tinggal di mana? Semua terasa sama saja buat kami. Waktu di Malabar, Malabar enak. Lalu kami coba lihat daerah Eastern Suburb, ke Mascot, enak juga. Ke Waterloo, enak juga. Lama-lama kami pusing. Hahaha. Sulit memutuskan dalam waktu yang demikian terbatas. Sewa rumah Malabar adalah 40 hari, setelah itu kami harus keluar. Seiring waktu, kami mulai memilah. Kami mulai sedikit mendapat gambaran. Kami harus mempertimbangkan faktor lingkungan yang baik untuk anak-anak, agar bisa kami dapatkan juga sekolah dengan komunitas yang baik. Maka ditetapkanlah kami akan mengarahkan pandangan ke utara saja. Kisahnya bisa dibaca di sini.
apartemen kami
Tempat tinggal baru kami ini adalah sebuah apartemen. Ini pertama kali saya tinggal di apartemen. Rasanya tidak beda jauh dengan tinggal di rumah biasa, kecuali ada lift, ada security door dan saya tidak perlu pusing mengurus taman :). Juga, jika ada apa-apa, saya tinggal telepon agen. Keran bocor, nih. Stop kontak kecabut, nih, dll. Dengan menyewa di tempat yang jauh dari kota, kami mendapatkan tempat tinggal yang lebih memadai. Ruangannya luas, kamar-kamar juga besar, lebih besar dari rumah Serpong kami. Saya tidak merindukan rumah Serpong sama sekali. :)

halaman belakang (atau depan, tergantung dilihat dari mana) 
basement, area pembuangan sampah
Namun.. saya sempat frustrasi awalnya. Saat memasuki apartemen ini, kami bisa dibilang tidak punya perabotan apa-apa. Mengisinya adalah sebuah pekerjaan yang menguras tenaga dan sangat menyakitkan dompet. Tempat tidur menjadi prioritas kami, kemudian peralatan makan. Lalu, ada kulkas, mesin cuci, penyedot debu, adalah tiga peralatan rumah tangga, wajib yang harus kami punya. Saat ini saya masih bertahan dengan 4 piring besar, 4 piring kecil, 4 mangkok, 8 sendok besar, 4 garpu, 4 sendok kecil, 4 pisau roti. Semuanya serba 4 dan kelipatannya, karena memang begini packing-nya. :p Talenan, ulekan, baru saya beli setelah beberapa minggu pindah. Sofa, meja makan, kami tunda dulu,  pengupas kentang bahkan saya belum punya, karena saya merindukan pengupas kentang saya di Serpong yang dihadiahkan oleh teman saya waktu dia masih tinggal di Belanda.
Jika kamu sebelumnya tinggal di tempat yang semua kebutuhanmu tersedia, tinggal di tempat baru yang masih kosong memang butuh penyesuaian diri. Saya banyak menahan diri untuk tidak asal beli ini dan itu. Apa pun yang bisa dihemat....

Tentang daerahnya sendiri, Wahroonga dan sekitarnya adalah tempat yang menyenangkan. Tempat yang cocok untuk keluarga. Daerahnya hijau, rindang, banyak pohon. Dikelilingi oleh sekolah-sekolah yang telah mempertahankan tradisi Anglo-Saxon selama puluhan bahkan ratusan tahun, rasanya asyik. Di daerah sini sekolah homogen (single sex school) cukup populer. Sekolah-sekolah ini mendapat respek dari masyarakat di sekitarnya. Kapan-kapan saya ajak keliling Wahroonga, ya.

3. Syukur untuk sekolah anak-anak.
Proses pendaftaran tidak dipersulit sama sekali. Karena alamat kami masuk dalam lingkup wilayah SD Negeri Warrawee, maka mereka wajib menerima anak-anak kami. Berkas-berkas dari sekolah Indonesia bahkan sama sekali tidak dilirik. Hanya berdasarkan faktor usia, dan bahwa status anak-anak sebagai pemegang visa permanent resident, mereka pun masuklah menjadi murid sekolah ini. Chloe masuk kelas 2, Joel masuk kelas 6. Chloe mendapat percepatan 6 bulan, sementara Joel mendapat perlambatan 6 bulan. :) Joel mengulang lagi kelas 6, karena memang usianya adalah usia anak kelas 6. Tidak ada cerita dia dinaikkan ke SMP, dan memang itu mau kami, agar dia sempat menikmati pendidikan dasar di Australia, walau hanya 6 bulan, karena tahun ajaran di sini mulai bulan Januari.


Walau transportasi masih terasa berat bagi saya dan anak-anak yang tadinya memiliki kehidupan yang mudah di Serpong (saya mendapat jatah mobil sendiri di Serpong), kini mau tak tamu kami harus mengandalkan transportasi umum. Kereta adalah satu-satunya opsi yang tersedia, dan setiap hari saya dan Kimi harus berjalan 800m ke stasiun Wahroonga, duduk 2 menit di kereta, lalu berjalan dari stasiun Warrawee ke sekolah sekitar 650m. Setelah sampai sekolah, rutenya dibalik. Jadi saya dan Kimi berjalan tiap Senin-Jumat hampir 3 km per hari. Tadinya saya juga yang mengantar, tapi lama-lama saya mulai kewalahan sehingga saya minta tolong Pampi saja yang mengantar dengan mobil. Selain lelah berjalan 6km (just too much for me), itu cukup menyita waktu, tidak sepadan.
Berangkat ke sekolah diantar Papa
Tetapi, ya, itu adalah salah satu yang harus kami terima sebagai bagian dari adaptasi. Tidak perlu dikeluhkan, dijalani saja dengan suka cita, karena, hei, bukankah saya dulu selalu mengeluh akan payahnya transportasi di republik tercinta? Kini kereta yang hampir selalu tepat waktu sudah tersedia, saya cukup berjalan kaki saja, kan? Kurang apa?

Teman setia Mama tiap hari menjemput kakak-kakak

Sebenarnya perjalanannya tidak sangat jauh, hanya 1.5 km sekali jalan. Jika jarak ini ditempuh dengan santai, perjalanannya sebenarnya asyik sekali. Jalannya bersih, udaranya bersih, dan Wahroonga diberkati dengan pepohonan dan tanaman-tanaman indah, juga burung-burung yang beterbangan bebas gembira. Masalahnya cuma adalah ketika waktu berangkatnya mepet. Waktu terbaik untuk berangkat dari rumah adalah 14.15. Lewat dari itu saya harus berjalan secepat mungkin, dan itu hampir mustahil jika kamu membawa seorang bocah berumur 4 tahun. Kadang dia tidak mau digandeng, kadang dia berhenti untuk mengamati serangga, mengamati bunga, atau buah-buah liar yang menarik perhatiannya. Kadang dia lelah, sehingga jalannya sangat lambat. Atau, tiba-tiba dia merasa ingin pup. Jika yang terjadi adalah itu, maka saya kadang setengah berlari sambil menggendong dia, dan napas saya rasanya mau putus. Belum lagi ketika sampai stasiun, kereta baruuu saja jalan. Dongkol sekali rasanya, karena harus menunggu 15 menit lagi. :) Setelah kereta datang, kami hanya duduk dua menit, dan setelah itu harus terbirit-birit lagi ke sekolah yang medannya terasa lebih berat. Entah kenapa rute harian jalan paling berat adalah sekolah - Warrawee station dan sebaliknya. Mungkin karena itu bukanlah rute terakhir, masih ada jarak cukup jauh yang harus dilalui setelahnya. Sementara dari stasiun ke rumah tak terasa begitu melelahkan, karena kami tahu setelah itu tidak akan ada lagi jalan kaki.

melewati Abbotsleigh Junior, Kimi berjalan sangat luambat 3km/jam
istirahat dulu ya, capek
Ada lagi hal yang membuat perasaan saya campur aduk. Chloe yang berumur 7 tahun, kadang belum sanggup menyamakan langkah terhadap adaptasi yang sedang dia alami. Entahkah cuaca yang dingin, jalanan yang panjang yang harus dilaluinya. Pernah sampai stasiun Wahroonga dia terlihat sangaaat lelah. Saya maklum, makan siangnya tidak dia makan tadi. Dia kurang suka sandwich, tapi saya pun tak punya banyak pilihan makan siang yang tetap enak dimakan dingin. Chloe lalu minta beristirahat di bangku yang banyak tersedia. Malamnya dia demam. Saya kasihan, tapi saya hanya bisa berdoa agar dia tetap kuat, dan semoga proses yang sedang dialaminya ini akan membuatnya menjadi seorang gadis kecil yang tangguh.
Chloe berbaring kelelahan setelah turun di stasiun Wahroonga

Berita baiknya.....

4. Syukur untuk musim yang baru.
Inilah pertama kali kami mengalami pergantian musim. Seketika saya teringat lagu yang dinyanyikan dan secara khusus 'diberikan' kepada kami oleh teman-teman komsel di Indonesia.

Engkau ada.... bersamaku...
di setiap musim hidupku
tak pernah Kau biarkan ku sendiri



Awal kedatangan kami, Sydney sedang mengalami musim dingin, dan konon musim dingin bulan Juli lalu adalah yang terdingin sepanjang enam tahun terakhir, karena rupanya angin dari Kutub Selatan sedang mampir ke sini. Wuih, bayangkan, lima orang tropis, yang baru saja datang dari tempat yang sehari-harinya bersuhu di atas 30°C, kini dihantam suhu di bawah 10°C. Kerjaan saya menggigil aja tiap hari.
Namun musim telah berganti. September ini Australia resmi memasuki musim semi. Ah, welcome, Springs! Musim yang paling indah namanya di telinga saya, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Musim semi menawarkan harapan, cuaca terbaik - tidak sangat dingin, tidak sangat panas -- just right, bunga-bunga bermekaran, daun-daun menghijau, semua makhluk yang tidur panjang kini terbangun, semua menawarkan keindahan.

intermezzo aja...
Ngomong-ngomong soal cuaca, dengan bangga kami kelima orang tropis mengumumkan bahwa kami melaluinya dengan baik. Hanya satu bulan saja, setelah itu tidak perlu lagi jaket tebal, tidak perlu lagi thermal innerwear. Saya kini sudah mengeluarkan baju-baju berlengan pendek dari koper. :)

Dua bulan yang telah berlalu, tiga minggu di sekolah, dua minggu di kantor baru, selama itu pulalah kami terus berusaha menyesuaikan diri. Tidak mudah. Tapi seperti lirik lagu di atas, kekuatan di jiwa kami adalah karena Dia, kami hidup karena anugerah-Nya, dan anugerah-Nya itu besar melimpah bagi kami sekeluarga.

You Might Also Like

9 comments

  1. Terharu bacanya :D
    Indah setelah dilalui, tapi kebayang bagaimana pasang surut ketika mengalaminya. Memang bersama Tuhan tidak ada yang mustahil... <3 <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih, MirJules yang cantik dan baik hati.... Bener banget, tanpa Tuhan rasanya enggak bakal sanggup...

      Delete
  2. Aku nangis, antara terharu dan pingin naik haji dari situ. Miss you already, Devi. Beruntung aku pernah meluk kamu walau sekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi... hayuk, atuh, daftarlah. Tapi tunggu aku beli sofa dulu, kalo enggak kamu tidur di karpet, lo... :p Bwkwkwkwk... *Peluk virtual untuk Anna.

      Delete
  3. Percayalah pada penyertaan-Nya. Semua dimaksudkan untuk membuat kita lebih tangguh dalam menjalani tugas di dunia ini. Keep faith and strong. (hugh and pray)

    ReplyDelete
  4. Congratulation ya buat om Pumpie dah dpt kerja , bersyukur skrg dah bisa ngumpulin $ Dev. Pas $ juga lg tinggi. Joel dan Chloe pake seragam nya warna merah ? Keren oi...

    ReplyDelete
    Replies

    1. ini Lie Se, yak? Iyah, bersyukur dapat kerja, kalo enggak dah dag-dig-dug karena burn rate sangat tinggil.... :p

      Delete
  5. Halo Devi, salam kenal : saya Anthony Wijaya dr Abbalove Maizonette, istri saya Yanti Susanto anak YKPN, temennya Pampi waktu kuliah di Yogya. Dia yg awalnya info ke saya bhw Pampi migrate ke Aussie, well kita sedang menimbang2 migrate juga (considering Canada). Jadi kadang baca blog ini tertarik dgn pengalaman migrate-nya dan suka duka yg dialami. Bacanya ringan, krn cara mendeskripsikannya bagus bisa membawa pembaca seolah2 ikut merasakannya. Tuhan yg beri kekuatan utk Devi sekeluarga, God bless you

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images