Pagi di Taman Turramurra

6:51 AM

Pagi yang cantik.
Bersama bocah kecilku yang lincah, kami tapaki undakan ke taman itu. Turramurra Village Park, kubaca plang namanya. Di samping stasiun Turramurra, di pinggir Pacific Highway yang ramai, di situlah dia berada.
Seseorang telah lebih dulu ada di situ. Tak jelas apakah dia perempuan atau laki-laki. Dari koper yang dibawanya dan pakaian yang diangin-anginkannya di pagar, kuduga dia tunawisma.
Aku memandang sekeliling. Bukan taman yang menarik. Rumputnya gundul di sana-sini, tidak cukup indah dipandang. Mungkin, taman ini ada untuk mereka yang mampir sekadar melepas penat.
Meski begitu, kurasa Sang Pagi yang tengah bergembira menyambut datangnya musim semi, telah mengundang para sahabatnya, untuk menikmati jamuan di taman kecil itu.


Aku terpesona melihat mereka. Aku tak tahu banyak tentang burung, dan tak pernah terlalu tertarik, hingga aku tiba di tempat ini, sebuah negara di mana kebebasan para burung terjamin. Mereka punya hak terbang di atas kepala manusia mana pun, mendarat di mana mereka suka, hinggap di mana mereka mau, tak ada manusia serakah yang akan menangkap atau menembak mereka.
Senang sekali berbagi pagi dengan mereka.
The boy, the park, the birds, and the mysterious person
Anak kecil ini mendekat kepada sekawanan makhluk indah itu, menawarkan sebagian dari kudapannya, "Shapes, birdie?"
Burung-burung warna hitam dan abu-abu datang mendekat, tanpa ragu mematuk remah-remah yang disebarkan si bocah. Namun burung-burung putih berjambul kuning berbeda. Remah yang disodorkan kepada mereka tak digubris. Mungkinkah ada kasta dalam dunia burung? Dan si kakaktua berjambul kuning ini tak sudi menyantap snack anak-anak, ataukah dia sedang menjaga pola makannya? Dear yellow-crested cockatoo, these children snacks are baked, not fried.


Aku menyanjung pagi itu. Kolaborasi mereka, para burung dan bocah kecilku, alangkah indahnya. Aku pun mulai berandai-andai. Andai semua anak di dunia punya kesempatan yang sama, menikmati masa kecil dalam kepenuhan. Andai semua burung kakaktua jambul kuning punya kesempatan yang sama di negaraku Indonesia, menikmati kehangatan udara tropis, tanpa harus diburu dengan kejam dan dimasukkan ke dalam botol mineral.

Please keep our birds safe

Seorang pria tua berdiri di pintu masuk taman.
"Hi, good morning."
"Morning," balasku padanya yang kini mendaki undakan menuju tempatku.
Lalu pria itu mengajakku bercakap-cakap. Dia menanyakan tempat tinggalku, dan sebagai bentuk kesopanan kutanyakan yang sama. Mungkin di usia lanjutnya dia butuh teman bicara, pikirku. Tak apalah, aku kan tidak sedang buru-buru.
Tak kan kuceritakan setiap detil percakapan kami, namun kira-kira demikian.
"Are you single mum?"
"No, I am not."
"What about having a coffee? You and me?"
Rasanya belum pernah ada pria lain yang mengajakku minum kopi.
"Thank you, but no."
Dia menanyakan asalku. Saat kukatakan Indonesia, dia menyebut Jakarta.
"Many pretty girls. Like you."
Ah, kakek tua. Aku mulai bertanya-tanya, apakah dirimu anggota MLM yang sedang dalam misi merekrut anggota baru? *sorry, can't help it
"Is your husband here or overseas? "
"I live with him."
Dia mulai beranjak pergi. Namun masih sempat bertanya,
"Your husband. Is he good?"
"He is."
"May be next time we can grab a coffee."
"Have a good day, Sir!"

Pagi yang cantik tetap cantik saat aku menggandeng bungsuku masuk stasiun, sementara tanganku yang lain sibuk menenteng belanjaanku dari Coles tadi. Waktunya kembali ke Wahroonga.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images