Mudik: Kembali ke Kampung Halaman
7:49 PM15 Desember 2018 pukul 15:10, kami berempat kembali lagi menjejak tanah Ibu Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi.
Setelah tuntas urusan imigrasi dan perkoperan, kami melangkah keluar dari gedung terminal 3 baru yang keren ini. Saat keluar dari gerbang, langsung udara hangat yang lembap menerpa kulit saya. Wah, sudah hampir lupa bagaimana rasanya kemringet. Lengket!
Walau masih sore di Jakarta, ternyata tubuh kami masih belum dapat menyesuaikan diri begitu saja. Empat jam perbedaan waktu antara Sydney dan Jakarta, perut kami protes keras karena tahu ini waktu makan malam. Maka, kami pun langsung menuju mal Central Park di Jakarta Barat. Segera saya memesan bakwan Malang, ini makanan yang sangat saya rindukan selama di Australia. Cukup tercengang dengan brandol harga 60ribu-an (duh, ke mana aja, Bu), tambah kecewa dengan rasanya yang biasa banget. Ah, penonton kecewa.
Makanan pertama di Indonesia |
Pukul tujuh malam waktu Jakarta (11 waktu Sydney!), walau sudah ditahan-tahan, anak-anak sudah tak kuasa lagi menahan kantuk. Mereka pun terlelap. Saya menyusul tak lama kemudian. Akibatnya, pagi-pagi buta, kurang dari pukul lima, mereka sudah segar. Disuruh tidur lagi pun sudah tak bisa.
Kami berkeliling-keliling gang sekitar Tanjung Duren dengan sepeda pagi itu. Saya berjalan kaki mengawal empat anak, dua sudah di atas 10 tahun, dua lagi masih bocah. Wah, saya benar-benar lupa bagaimana adat berkendaraan di sini. Walau gang sempit, penggunanya banyak, motor, mobil, semuanya tak ada yang memberi sebelah mata kepada pengendara sepeda dan pejalan kaki. Sebentar-sebentar mereka diklakson. Saya sedih sih, pejalan kaki dan pengendara sepeda mendapat tempat yang terhormat di Australia, bahkan di bahan ujian SIM berkali-kali diingatkan bahwa mereka pun adalah pengguna jalan dan mereka adalah yang 'lebih lemah', jadi harus dilindungi, yang bermotor harus memberikan mereka prioritas. Di Jakarta, boro-boro, anak-anak yang sedang naik sepeda ini tentu dianggap pengganggu, karena bikin jalanan jadi lambat! Duh, Pak, Bu, jadi teladan buat anak-anak sudah amat, sih.
Mau puter-puter gang dulu |
Jakarta adalah kampung halaman anak-anak, karena mereka lahir di sana, sementara Gading Serpong adalah rumah pertama mereka.
Ada rasa gimana gitu saat menengok rumah. Satpam menjaga pintu masuk, mengangguk hormat dan menyapa saat kami masuk, sebuah kemewahan yang saya tak punya di Australia.
Home |
Ah, pohon rambutan tengah berbuah. Banyaknyaaaaa... Belum merah pun sudah manis rasanya. Dagingnya yang tebal ini, lho, enak banget!
Rambutan |
Ukurannya besar, dagingnya tebal, manis! |
Berenang di kompleks perumahan kami pun adalah satu hal yang sering saya rindukan selama di Sydney. Anak-anak tinggal jalan kaki dari rumah mengenakan baju renang, lalu biasanya pulang dalam keadaan basah, langsung melesat lari ke kamar mandi. Kapan pun mereka mau. Hal-hal seperti ini lho, yang saya tukar dengan kenyamanan hidup versi Australia. Mungkin kenyamanan bukan kata yang tepat, mungkin kemapanan lebih tepat.
Kolam renang di dalam kompleks perumahan |
Bangka
Sekarang giliran saya yang mudik ke kampung halaman. Satu minggu tentu tidak cukup, tapi waktu yang terbatas yang membuat kami harus tergesa-gesa menuntaskan liburan. Opa Oma tentu sudah rindu pada cucu-cucunya yang tadinya bisa ditengok tiap tiga bulan.
Wah, lagi-lagi saya harus mengagumi pembangunan yang kini tidak terlalu Jawa-sentris lagi. Depati Amir yang kumuh sudah berganti dengan bandar udara yang cantik dan pantas untuk ukuran ibu kota provinsi.
Depati Amir baru |
pick-up/drop-off area |
Salah satu makanan Bangka yang paling saya kangeni, khususnya dari kampung halaman saya Belinyu, adalah otak-otak. Tidak ada otak-otak lain yang bisa menyenangkan hati saya selain otak-otak Belinyu. Dulu, warung otak-otak cuma beberapa rumah saja, sekarang mereka sudah pindah ke ibu kota provinsi Pangkal Pinang, pasarnya lebih luas. Otak-otak Belinyu tampaknya disukai orang Pangkal Pinang, sehingga beberapa penjual di Pangkal Pinang merasa harus melabeli dagangan mereka dengan jelas: otak-otak Belinyu. Selain otak-otak, Belinyu juga terkenal dengan kerupuk/kemplang. Orang-orang di Bangka tahu, kalau kemplang dan kerupuk getas, sebaiknya cari yang buatan Belinyu. Tentu saja ini masalah selera ya, tapi benar lho, kemplang Belinyu harum namanya.
Apa sih beda otak-otak Belinyu dengan yang lain? Yang pasti otak-otak Belinyu buntek-buntek. Karena harga ikan makin mahal, ukurannya pun makin mengecil. Sulit menaikkan harga, kata si aji (auntie) penjual, lebih baik mereka mendietkan si otak-otak. Pembeli di Bangka memang cukup sensitif terhadap harga. Berapa harga otak-otak satu buah? Rp2.000. Bandingkan dengan otak-otak Bangka yang dijual di Jakarta yaitu Rp5.000. Dengan harga demikian, konsumen Jakarta tak keberatan, bahkan mungkin mereka memilih harga dinaikkan daripada ukuran dikecilkan. Beda ya pasarnya?
Belinyu, kota kecil di utara Pulau Bangka, cuacanya panas dan udaranya lengket.
Kebetulan ada kerabat yang menikah, kami pun diundang untuk menghadiri resepsi di gedung megah peninggalan Belanda yang dinamai Krida Stania.
Otak-otak Belinyu |
Belinyu, kota kecil di utara Pulau Bangka, cuacanya panas dan udaranya lengket.
Mie mentah |
Mi Bangka "bumbu" ikan |
Durian |
Kebetulan ada kerabat yang menikah, kami pun diundang untuk menghadiri resepsi di gedung megah peninggalan Belanda yang dinamai Krida Stania.
teks berbahasa Belanda |
0 comments